Rabu, 31 Maret 2010

pengobatan bagi anak down syndrome

Penatalaksanaan

Sampai saat ini belum ditemukan metode pengobatan yang paling efektif untuk mengatasi kelainan ini. Pada tahap perkembangannya penderita Down syndrom juga dapat mengalami kemunduran dari sistim penglihatan, pendengaran maupun kemampuan fisiknya mengingat tonus otot-otot yang lemah. Dengan demikian penderita harus mendapatkan dukungan maupun informasi yang cukup serta kemudahan dalam menggunakan sarana atau fasilitas yang sesuai berkaitan dengan kemunduran perkembangan baik fisik maupun mentalnya. Pembedahan biasanya dilakukan pada penderita untuk mengoreksi adanya defek pada jantung, mengingat sebagian besar penderita lebih cepat meninggal dunia akibat adanya kelainan pada jantung tersebut. Dengan adanya leukemia akut menyebabkan penderita semakin rentan terkena infeksi, sehingga penderita ini memerlukan monitoring serta pemberian terapi pencegah infeksi yang adekuat.

pencegahan down syndrome

Pencegahan

Pencegahan dapat dilakukan dengan melakukan pemeriksaan kromosom melalui amniocentesis bagi para ibu hamil terutama pada bulan-bulan awal kehamilan. Terlebih lagi ibu hamil yang pernah mempunyai anak dengan sindrom down atau mereka yang hamil di atas usia 40 tahun harus dengan hati-hati memantau perkembangan janinnya karena mereka memiliki risiko melahirkan anak dengan sindrom down lebih tinggi. Sindrom down tidak bisa dicegah, karena DS merupakan kelainan yang disebabkan oleh kelainan jumlah kromosom. Jumlsh kromosm 21 yang harusnya cuma 2 menjadi 3.

Penyebabnya masih tidak diketahui pasti, yang dapat disimpulkan sampai saat ini adalah makin tua usia ibu makin tinggi risiko untuk terjadinya DS.Diagnosis dalam kandungan bisa dilakukan, diagnosis pasti dengan analisis kromosom dengan cara pengambilan CVS (mengambil sedikit bagian janin pada plasenta) pada kehamilan 10-12 minggu) atau amniosentesis (pengambilan air ketuban) pada kehamilan 14-16 minggu.

Pemeriksaan diagnostik.
Untuk mendeteksi adanya kelainan pada kromosom, ada beberapa pemeriksaan yang dapat membantu menegakkan diagnosa ini, antara lain:

•Pemeriksaan fisik penderita
•Pemeriksaan kromosom
•Ultrasonograpgy
•ECG
•Echocardiogram
•Pemeriksaan darah (Percutaneus Umbilical Blood Sampling)

Sejarah Down Syndrome

Sindrom down (bahasa Inggris: down syndrome) merupakan kelainan kromosom yang dapat dikenal dengan melihat manifestasi klinis yang cukup khas. Kelainan yang berdampak pada keterbelakangan pertumbuhan fisik dan mental anak ini pertama kali dikenal pada tahun 1866 oleh Dr.John Longdon Down. Karena ciri-ciri yang tampak aneh seperti tinggi badan yang relative pendek, kepala mengecil, hidung yang datar menyerupai orang Mongolia maka sering juga dikenal dengan Mongoloid. Pada tahun 1970an para ahli dari Amerika dan Eropa merevisi nama dari kelainan yang terjadi pada anak tersebut dengan merujuk penemu pertama kali syndrome ini dengan istilah sindrom down dan hingga kini penyakit ini dikenal dengan istilah yang sama.

Sindrom down merupakan kelainan kromosom yakni terbentuknya kromosom 21 (trisomy 21), Kromosom ini terbentuk akibat kegagalan sepasang kromosom untuk saling memisahkan diri saat terjadi pembelahan. Kelainan yang berdampak pada keterbelakangan pertumbuhan fisik dan mental anak ini pertama kali dikenal pada tahun 1866 oleh Dr.John Longdon Down.

sumber : Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Anak-anak Down Syndrome Menjadi Korban Makian di Facebook

FACEBOOK REDESIGN 2

TEMPO Interaktif, Milan – Sebuah aksi bejat kelompok Facebook Italia membuat akun dengan anak-anak yang mempunyai kelainan bawaan Down Syndrome sebagai sasaran makian. Melihat hal ini, menteri persamaan hak Italia mengancam menutup akun facebook yang menyebutkan bahwa “ribuan idiot” itu akan dikenai ancaman hukum, Selasa (23/2) waktu setempat.
Laman akun itu memampangkan foto seorang bayi Down Syndrome dan dikeningnya ditulis kata "dungu". Tertulis pula "solusi yang mudah dan menyenangkan" untuk membersihkan dunia dari "makhluk-makhluk busuk ini" adalah untuk menggunakannya sebagai sasaran latihan.

Menteri Persamaan Hak Mara Carfagna kepada televisi Italia mengatakan, "Italia tidak akan mentolerir insiden diskriminasi dalam bentuk apa pun, apalagi terhadap orang cacat. Mereka bertanggung jawab menciptakan kegilaan ini akan dituntut oleh hukum."

Down Syndrome merupakan kelainan genetik yang paling umum dari keterbelakangan mental, terjadi pada 1 dari 700 kelahiran hidup. Polisi berusaha melacak orang-orang yang membuat akun biadab ini. “Jika tertangkap, mereka bisa menghadapi 4,5 tahun penjara karena hasutan untuk melakukan tindak pidana,” kata menteri.

Laman ini memantik protes dan kutukan dari para politisi dan kelompok-kelompok pendukung. "Mereka yang bertanggung jawab harus dijadikan contoh," kata Luca ZAIA, menteri pertanian Italia. "Hukuman pertama dapat memasukkan mereka untuk melayani keluarga dengan anak-anak Down Syndrome yang martabat telah terhina."
Kemarahan atas situs antiDown Syndrome juga datang dari empat eksekutif Google Italia yang sedang disidang di Milan yang dituntut dengan pencemaran nama baik dan kegagalan untuk melindungi privasi dari seorang remaja Down Syndrome, yang muncul dalam sebuah video di situs Google pada tahun 2006.

Film video pendek dengan perekam telepon genggam ini menunjukkan empat Turin sedang mengejek anak remaja di depan belasan pemuda lain. Di Italia ada sekitar 38 ribu orang dengan Down Sydrome, dari data Asosiasi Down Syndrome Italia.

Sumber : majalah Tempo, Rabu, 24 Februari 2010 | 12:00 WIB

lingkungan kondusif bagi anak DS

Lingkungan kondusif

Di sekolah khusus, kebutuhan anak-anak ini memang lebih terpenuhi karena lingkungan fisik, pengajar maupun kurikulumnya sudah dirancang sedemikian rupa sehingga lebih cocok dengan kondisi anak. “Anak berada di lingkungan yang bisa memahami kondisi khusus mereka tanpa ada label ’anak aneh’ atau anak bandel. Maklum, anak yang hiperaktif sering dicap biang onar di sekolah-sekolah umum,” kata Vera. Akibatnya, kepercayaan diri anak lebih terjaga karena dia tidak merasa ’aneh’ sendiri atau tertinggal dari teman lain yang normal.

Itulah juga pertimbangan Aprilia, ibu dari Davina (4), ketika memilih menyekolahkan anaknya di sebuah sekolah khusus untuk anak-anak autis. “Saya lihat perkembangan anak juga akan lebih optimal karena terapi bisa dilakukan sambil sekolah. Guru-gurunya juga mempunyai keahlian sebagai terapis,” katanya.
Sebaliknya di sekolah umum, guru seringkali minim atau tak punya pengalaman sama sekali menangani anak-anak ’spesial’ ini. Bukan itu saja, guru juga sulit memberikan perhatian khusus kepada si anak autis karena rasio jumlah anak dan guru dalam satu kelas kurang ideal.

Di sekolah umum, satu kelas biasanya berisi lebih dari 20 anak. Bandingkan dengan di sekolah khusus anak autis, di mana satu guru rata-rata menangani tiga anak. “Lebih dari itu, pasti sudah keteteran,” kata Ita.
Selain itu, menurut Ita, “Jangankan untuk anak autis, untuk anak normal pun kurikulum pendidikan nasional saat ini sudah lumayan berat.” Pantaslah kalau anak autis yang bersekolah di sekolah umum biasanya jadi lebih tertatih-tatih. Karena itu, menurut Ita, metode belajar di sekolah autis Mandiga dibatasinya hanya pada hal-hal yang bersifat aplikatif. “Mereka diajari membaca, menulis, berhitung. Tapi yang lain-lain, kira-kira terpakai atau tidak? Kalau tidak, ya lebih baik tidak usah,” katanya.

Cara mengajar pun tidak bisa selalu sama untuk setiap anak. Untuk mengajarkan sebuah kosa kata, misalnya, guru anak autis tak jarang harus putar otak untuk bisa menarik perhatian mereka. Tak jarang mereka harus memulainya dari sesuatu yang menarik minat anak. Contoh bila si anak suka oli, maka akan lebih efektif kalau dia mulai belajar dari kata “oli”, sementara bila dia suka mobil, ya akan lebih efektif untuk mulai mengajari dia dari kata “mobil”.
Karena setiap penyandang autis berbeda dalam mengolah dan merespon informasi, kurikulum dalam proses belajar-mengajar memang harus disesuaikan dengan kelebihan dan kekurangan masing-masing anak. Pola pendidikan yang tepat itu juga harus diajarkan oleh guru-guru yang memang punya dedikasi untuk mendidik dan mau mencintai anak-anak ’spesial’ itu. Kalau tidak, terbayang kan rasanya menghadapi anak-anak yang bisa menangis terus selama berjam-jam tanpa henti, atau marah-marah dan malah kadang mengamuk tanpa alasan.

Saat ini, perhatian pemerintah terhadap pendidikan anak-anak berkebutuhan khusus (special needs) memang masih sangat minim. Padahal, jumlah anak-anak dengan berbagai kekurangan ini terus bertambah. Saat ini saja, menurut Yayasan Autisme Indonesia, meski belum ada penelitian khusus, diperkirakan dari 160 kelahiran satu diantaranya adalah anak autis. Wah, kenapa bisa sebesar itu? “Memang autis itu biasanya dipengaruhi oleh faktor genetis, tapi pemicunya bisa dari faktor eksternal seperti gaya hidup, vaksin, makanan, pengaruh zat-zat kimia, dan polusi yang makin parah," kata Ita. “Bayangkan kalau jumlah mereka terus bertambah dan tidak memperoleh pendidikan yang memadai. Betapa pun mereka itu kan juga generasi penerus,” tambahnya.
Rasa prihatin Ita itu mungkin ungkapan hati seorang ibu yang anaknya juga penyandang autis. Tapi, harapan akan perhatian yang lebih besar terhadap anak-anak berkebutuhan khusus seperti anak-anak autis ini mungkin juga harapan kita semua. Harapan ini bahkan juga pernah dilontarkan Torey Hayden, psikolog dan guru anak-anak berkebutuhan khusus asal Inggris ketika bertandang ke Indonesia sekitar dua tahun lalu.

Menurut penulis buku laris Sheila: Luka Hati Seorang Gadis Kecil itu, anak-anak ini perlu bersekolah di tempat yang tepat karena sebagian dari mereka punya potensi intelektual yang tak kalah dibanding anak normal. Pendidikan yang baik dan sesuai dengan kebutuhan mereka akan membuat anak-anak ini bisa hidup wajar, mandiri, dan tidak sepenuhnya bergantung pada keluarga dan lingkungan.

Kondisi anak Down Syndrome

Bila setelah terdeteksi (autis) anak memperoleh penanganan baik dan mengalami kemajuan pesat, mungkin saja dia bisa disekolahkan di sekolah umum. Tapi, bila modal si anak dari awal sudah ’kurang’ atau kondisi autisnya memang lebih parah, tak bisa bicara misalnya, sebaiknya dia memang tak dimasukkan ke sekolah umum. Begitu pun bila anak autis ini sulit untuk berkonsentrasi di tempat ramai, mungkin sebaiknya orangtua tak memaksa si anak untuk masuk ke sekolah umum.
“Bisa-bisa dia malah benci belajar, hingga kemudian dia berkembang dengan konsep diri yang negatif karena selalu gagal, selalu berada di urutan paling bawah dan tertinggal dari teman-temannya,” kata Dyah Puspita, psikolog dan sekretaris Yayasan Autisme Indonesia (YAI) yang akrab dipanggil Ita ini. Anak boleh didukung untuk masuk ke sekolah umum kalau taraf autisnya terbilang ringan.

Menurut Vera Itabiliana, psikolog anak dan remaja, sebelum memutuskan apakah si anak perlu dimasukkan ke sekolah khusus atau tidak, orangtua perlu menguji anaknya dengan sejumlah pertanyaan, seperti: Bisakah si anak duduk diam di kelas selama jangka waktu yang lama, bisakah dia mengikuti aturan, bisakah dia memahami instruksi orang lain, atau bisakah dia mengendalikan emosinya ketika ada sesuatu yang tak berkenan terjadi? “Bila semua pertanyaan di atas jawabannya “tidak”, ya tidak ada positifnya memaksa anak masuk sekolah umum, lebih baik dia masuk sekolah khusus saja,” kata Vera.
Toh, hal itu terpulang lagi kepada orangtua. Sebagai psikolog yang juga terapis bagi anak-anak autis dan pengelola sekolah autis Mandiga, Ita tak pernah langsung menganjurkan agar seorang anak autis dimasukkan ke sekolah umum atau sekolah khusus. “Semuanya terserah orangtua si anak, saya hanya memberitahu kemungkinan-kemungkinan yang akan mereka hadapi sebagai konsekuensi pilihannya,” katanya.
Jadi, sah-sah saja, kok, kalau orangtua mau coba-coba dulu memasukkan anaknya ke sekolah umum. Siapa tahu si anak memang mampu. Tapi, bila si orangtua sejak awal memang menyadari si anak mungkin sulit menyesuaikan diri di sekolah biasa, sekolah khusus akan menjadi pelabuhan yang tepat. Ketika anak lain patuh saat disuruh latihan menulis misalnya, si autis mungkin akan ’membangkang’ dan asyik sendiri melakukan hal lain.
Itulah yang mungkin akan menyulitkan mereka di sekolah umum.
Biasanya orangtua yang tak bisa memasukkan anaknya ke sekolah umum memang mengalami kebingungan. Tapi, menurut Ita, saat ini sudah cukup banyak pilihan. “Selain di SLB (Sekolah Luar Biasa), bisa juga dia dimasukkan ke sekolah reguler, di special wings dengan special needs, yang menerapkan kurikulum tersendiri, atau homeschooling saja. Orang belajar itu kan tidak harus selalu di sekolah umum. Kalau ada sekolah khusus, itu baik, tapi kalau nggak ada, kenapa nggak dibuat? Nggak punya tempat? Di garasi saja!” kata Ita.
Lalu bagaimana dengan guru-gurunya? Nggak ada, lho, guru yang siap pakai. Semua belajar lagi karena setiap anak berbeda karakternya. Tak ada satu anak autis pun yang sama persis dengan anak autis yang lain. Satu hal yang utama, guru itu harus punya niat untuk membaktikan diri terhadap tugasnya, karena urusan ilmu dan teknik bukanlah sesuatu yang tak bisa dipelajari.

Anak-anak dengan down syndrome

A gift of life, anak-anak ini adalah kado dari Tuhan. Mereka bukan untuk disembunyikan, bukan pula untuk dianggap sebagai kutukan yang memalukan. Mereka juga berhak untuk menikmati kehidupan seperti anak normal yang diajak jalan-jalan oleh orangtuanya ke mal, atau diajak bersosialisasi dengan anak lain. Itulah yang selalu ditekankan oleh Doni Rizal, direktur eksekutif dan para pengajar di Pusat Informasi dan Pendidikan Down Syndrome Matahari Lestari kepada para orangtua anak-anak down syndrome.

Berbeda dengan anak autis yang selintas terlihat seperti anak normal, anak-anak down syndrome memang langsung bisa dilihat perbedaannya dengan anak normal. Wajah mereka bundar seperti bulan purnama (moon face), dengan mata sipit yang ujung-ujungnya tertarik ke atas. Sampai saat ini, belum diketahui apa penyebab kerusakan kromosom No.21 yang menjadi pemicu kelainan genetis penyebab down syndrome ini. Tapi diperkirakan ada beberapa faktor yang berperan, seperti usia ibu yang sudah cukup lanjut, terpapar ultrasound USG lebih dari 400 kali, pengaruh alkohol, obat-obatan Cina, dan lain-lain.

Anak-anak down syndrome punya tiga karakter khas, yaitu: secara intelektual rendah, secara mental terbelakang dan secara fisik mereka juga lemah. “Dengan kondisi seperti itu, tidak mungkin bagi kita untuk mengajari mereka biologi atau fisika. Yang penting mereka bisa bina diri (mandiri), bisa menulis dan membaca, dan memiliki beberapa keahlian lain seperti menggambar atau melukis.” kata Doni.

Di sekolah khusus down syndrome Matahariku yang dikelola oleh Yayasan Matahari Lestari, anak-anak down syndrome ini belajar untuk mandiri. Selain mengajarkan kemandirian dasar, sekolah ini juga mempunyai program jangka menengah school to work, yaitu program yang mempersiapkan anak-anak ini agar di masa pubertas mereka bisa mandiri dan melakukan pekerjaan dasar. “Di Belgia, misalnya, ada pabrik roti, toko pembuat kartu dan sebagainya yang menggunakan para penderita down syndrome sebagai pekerja. Program ini juga sangat berhasil di Singapura dan bisa menyalurkan anak-anak tersebut untuk bekerja di hotel, entah itu di bagian laundry, atau sebagai bell boy. Bahkan ada juga yang bisa menjadi pengarang meski dengan intelektualitas dan mentalitas yang terbelakang.

Selain sangat fokus pada pekerjaan yang mereka tekuni, anak-anak down syndrome ini juga punya keistimewaan sangat pintar meniru. Akibatnya, mereka harus diekspos pada lingkungan yang baik. Jika bersekolah sama-sama dengan anak autis atau anak-anak yang hiperaktif misalnya, mereka juga akan cenderung meniru sikap hiperaktif itu. Tapi, pada dasarnya anak down syndrome cukup ramah dan terbuka sehingga mereka juga bisa bersosialisasi, meski untuk itu tentunya mereka butuh dukungan penuh dari orang-orang di sekitarnya.

Anak Down Syndrome Sama dengan Anak Normal

JAKARTA - Jangan kucilkan anak penderita down syndrome. Inilah pesan yang dikemas dalam peringatan hari Sindroma Down Sedunia di Kebun Binatang Ragunan, Jakarta Selatan hari ini. Atraksi anak penderita down syndrome lewat nyanyian dan tarian di atas panggung membuktikan kalau penderita penyakit kelainan kromosom ini masih bisa beraktivitas seperti anak normal lainnya.

Lihat saja, aksi mengagumkan enam gadis cilik yang terlihat cekatan menarikan tarian khas provinsi Sumatera. Meski, agak berantakan, penampilan penderita down syndrome ini sudah membuat para orang tua mereka senang. Tak hanya menari, anak-anak itu juga berkreativitas melalui seni lukis. Jelang akhir acara, semua anak diajak berkeliling melihat hewan penghuni taman marga satwa Ragunan.

Menurut Ketua Persatuan Orang Tua dengan Down Sindroma (POTADS) Ayu Wahyuni, acara ini sengaja digelar untuk menyadarkan masyarakat agar lebih peduli terhadap anak penderita down syndrome. "Kami ingin menyosialisasikan kepada masyarakat, terutama pengunjung ragunan,anak-anak penyandang down syndrome bisa berbuat seperti anak-anak lainnya. Bisa bernyanyi,menari, dan tentunya bisa berlomba,"tutur Ayu saat berbincang dengan okezone di lokasi, Minggu (21/3/2010).

Ayu menambahkan, saat ini masih banyak orang tua yang malu memiliki anak dengan jenis penyakit ini. "Anak down syndrome masih dikucilkan dalam pergaulan. Di dalam masyarakat juga masih dipandang aneh. Masyarakat masih menganggap mereka bodoh dan idiot, padahal mereka ini down syndrome" jelasnya.
Selain itu, Ayu menyayangkan minimnya perhatian pemerintah terhadap penderita down syndrom ini. Hal ini bisa dilihat dari ketiadaan sekolah khusus bagi anak-anak tersebut. "Mereka masih dicampur dengan anak-anak tuna grahita lainnya. Padahal down syndrome mempunyai kebutuhan khusus dari tuna grahita" jelasnya.

Down syndrom adalah suatu kondisi keterbelakangan perkembangan fisik dan mental anak yang diakibatkan adanya abnormalitas perkembangan kromosom. Penderita penyakit ini mudah dikenali dengan adanya penampilan fisik yang menonjol berupa bentuk kepala yang relatif kecil dari normal.
Pada bagian wajah biasanya tampak sela hidung yang datar, mulut yang mengecil dan lidah yang menonjol keluar. Seringkali mata menjadi sipit dengan sudut bagian tengah membentuk lipatan

Sumber : Frida Astuti - Okezone , Minggu, 21 Maret 2010 - 15:00 wib

Terapi Bagi Individu dengan Autisme

Terapi Bagi Individu dengan Autisme

Bila ada pertanyaan mengenai terapi apa yang efektif? Maka jawaban atas pertanyaan ini sangat kompleks, bahkan para orang tua dari anak-anak dengan autisme pun merasa bingung ketika dihadapkan dengan banyaknya treatment dan proses pendidikan yang ditawarkan bagi anak mereka.
Beberapa jenis terapi bersifat tradisional dan telah teruji dari waktu ke waktu sementara terapi lainnya mungkin baru saja muncul.
Tidak seperti gangguan perkembangan lainnya, tidak banyak petunjuk treatment yang telah dipublikasikan apalagi prosedur yang standar dalam menangani autisme. Bagaimanapun juga para ahli sependapat bahwa terapi harus dimulai sejak awal dan harus diarahkan pada hambatan maupun keterlambatan yang secara umum dimiliki oleh setiap anak autis, misalnya; komunikasi dan persoalan-persolan perilaku.
Treatment yang komprehensif umumnya meliputi; Terapi Wicara (Speech Therapy), Okupasi Terapi (Occupational Therapy) dan Applied Behavior Analisis (ABA) untuk mengubah serta memodifikasi perilaku.

Berikut ini adalah suatu uraian sederhana dari berbagai literatur yang ada dan ringkasan penjelasan yang tidak menyeluruh dari beberapa treatment yang diakui saat ini. Menjadi keharusan bagi orang tua untuk mencari tahu dan mengenali treatment yang dipilihnya langsung kepada orang-orang yang profesional dibidangnya. Sebagian dari teknik ini adalah program menyeluruh, sedang yang lain dirancang menuju target tertentu yang menjadi hambatan atau kesulitan para penyandangnya.

•Educational Treatment, meliputi tetapi tidak terbatas pada: Applied Behavior Analysis (ABA) yang prinsip-prinsipnya digunakan dalam penelitian Lovaas sehingga sering disamakan dengan Discrete Trial Training atau Intervensi Perilaku Intensif.

•Pendekatan developmental yang dikaitkan dengan pendidikan yang dikenal sebagai Floortime.

•TEACCH (Treatment and Education of Autistic and Related Communication – Handicapped Children).

•Biological Treatment, meliputi tetapi tidak terbatas pada: diet, pemberian vitamin dan pemberian obat-obatan untuk mengurangi perilaku-perilaku tertentu (agresivitas, hiperaktif, melukai diri sendiri, dsb.).

•Speech – Language Therapy (Terapi Wicara), meliputi tetapi tidak terbatas pada usaha penanganan gangguan asosiasi dan gangguan proses auditory/pendengaran.

•Komunikasi, peningkatan kemampuan komunikasi, seperti PECS (Picture Exchange Communication System), bahasa isyarat, strategi visual menggunakan gambar dalam berkomunikasi dan pendukung-pendukung komunikasi lainnya.

•Pelayanan Autisme Intensif, meliputi kerja team dari berbagai disiplin ilmu yang memberikan intervensi baik di rumah, sekolah maupun lngkungan sosial lainnya.

•Terapi yang bersifat Sensoris, meliputi tetapi tidak terbatas pada Occupational Therapy (OT), Sensory Integration Therapy (SI) dan Auditory Integration Training (AIT).

Dengan adanya berbagai jenis terapi yang dapat dipilih oleh orang tua, maka sangat penting bagi mereka untuk memilih salah satu jenis terapi yang dapat meningkatkan fungsionalitas anak dan mengurangi gangguan serta hambatan autisme.
Sangat disayangkan masih minim data ilmiah yang mampu mendukung berbagai jenis terapi yang dapat dipilih orang tua di Indonesia saat ini.

Fakta menyebutkan bahwa sangat sulit membuat suatu penelitian mengenai autisme. Sangat banyak variabel-variabel yang dimiliki anak, dari tingkat keparahan gangguannya hingga lingkungan sekitarnya dan belum lagi etika yang ada didalamnya untuk membuat suatu penelitian itu sungguh-sungguh terkontrol. Sangat tidak mungkin mengkontrol semua variabel yang ada sehingga data yang dihasilkan dari penelitian-penelitian sebelumnya mungkin secara statistik tidak akurat.

Tidak ada satupun jenis terapi yang berhasil bagi semua anak. Terapi harus disesuaikan dengan kebutuhan anak, berdasarkan pada potensinya, kekurangannya dan tentu saja sesuai dengan minat anak sendiri.
Terapi harus dilakukan secara multidisiplin ilmu, misalnya menggunakan; okupasi terapi, terapi wicara dan terapi perilaku sebagai basisnya. Tenaga ahli yang menangani anak harus mampu mengarahkan pilihan-pilihan anda terhadap berbagai jenis terapi yang ada saat ini.

Tidak ada jaminan apakah terapi yang dipilih oleh orang tua maupun keluarga sungguh-sungguh akan berjalan efektif. Namun demikian, tentukan salah satu jenis terapi dan laksanakan secara konsisten, bila tidak terlihat perubahan atau kemajuan yang nyata selama 3 bulan dapat melakukan perubahan terapi. Bimbingan dan arahan yang diberikan harus dilaksanakan oleh orang tua secara konsisten. Bila terlihat kemajuan yang signifikan selama 3 bulan maka bentuk intervensi lainnya dapat ditambahkan.
Tetap bersikap obyektif dan tanyakan kepada para ahli bila terjadi perubahan-perubahan perilaku lainnya.

sumber : wikipedia

Penanganan Autisme di Indonesia

Penanganan Autisme di Indonesia

Intensitas dari treatment perilaku pada anak dengan autisme merupakan hal penting, namun persoalan-persoalan mendasar yang ditemui di Indonesia menjadi sangat krusial untuk diatasi lebih dahulu. Tanpa mengabaikan faktor-faktor lain, beberapa fakta yang dianggap relevan dengan persoalan penanganan masalah autisme di Indonesia diantaranya adalah:

1.Kurangnya tenaga terapis yang terlatih di Indonesia. Orang tua selalu menjadi pelopor dalam proses intervensi sehingga pada awalnya pusat-pusat intervensi bagi anak dengan autisme dibangun berdasarkan kepentingan keluarga untuk menjamin kelangsungan pendidikan anak mereka sendiri.

2.Belum adanya petunjuk treatment yang formal di Indonesia. Tidak cukup dengan hanya mengimplementasikan petunjuk teatment dari luar yang penerapannya tidak selalu sesuai dengan kultur kehidupan anak-anak Indonesia.

3.Masih banyak kasus-kasus autisme yang tidak di deteksi secara dini sehingga ketika anak menjadi semakin besar maka semakin kompleks pula persoalan intervensi yang dihadapi orang tua. Para ahli yang mampu mendiagnosa autisme, informasi mengenai gangguan dan karakteristik autisme serta lembaga-lembaga formal yang memberikan layanan pendidikan bagi anak dengan autisme belum tersebar secara merata di seluruh wilayah di Indonesia.

4.Belum terpadunya penyelenggaraan pendidikan bagi anak dengan autisme di sekolah. Dalam Pasal 4 UU No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional telah diamanatkan pendidikan yang demokratis dan tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, dukungan ini membuka peluang yang besar bagi para penyandang autisme untuk masuk dalam sekolah-sekolah umum (inklusi) karena hampir 500 sekolah negeri telah diarahkan oleh pemerintah untuk menyelenggarakan inklusi.

5.Permasalahan akhir yang tidak kalah pentingnya adalah minimnya pengetahuan baik secara klinis maupun praktis yang didukung dengan validitas data secara empirik (Empirically Validated Treatments/EVT) dari penanganan-penanganan masalah autisme di Indonesia.

Studi dan penelitian autisme selain membutuhkan dana yang besar juga harus didukung oleh validitas data empirik, namun secara etis tentunya tidak ada orang tua yang menginginkan anak mereka menjadi percobaan dari suatu metodologi tertentu. Kepastian dan jaminan bagi proses pendidikan anak merupakan pertimbangan utama bagi orang tua dalam memilih salah satu jenis treatment bagi anak mereka sehingga bila keraguan ini dapat dijawab melalui otoritas-otoritas ilmiah maka semakin terbuka informasi bagi masyarakat luas mengenai pengetahuan-pengetahuan baik yang bersifat klinis maupun praktis dalam proses penanganan masalah autisme di Indonesia.

Perkembangan Penelitian Autisme

Perkembangan Penelitian Autisme

Tahun 1960 penanganan anak dengan autisme secara umum didasarkan pada model psikodinamika, menawarkan harapan akan pemulihan melalui experiential manipulations (Rimland, 1964). Namun demikian model psikodinamika dianggap tidak cukup efektif. Pada pertengahan tahun 1960-an, terdapat sejumlah laporan penelitian bahwa pelaku psikodinamik tidak dapat memberikan apa yang mereka janjikan (Lovaas, 1987). Melalui berbagai literatur, dapat disebutkan beberapa ahli yang memiliki perbedaan filosofis, variasi-variasi treatment dan target-target khusus lainnya, seperti:

•Rimland (1964): Meneliti karakteristik orang tua yang memiliki anak dengan autisme, seperti: pekerja keras, pintar, obsesif, rutin dan detail. Ia juga meneliti penyebab autisme yang menurutnya mengarah pada faktor biologis.

•Bettelheim (1967): Ide penyebab autisme adalah adanya penolakan dari orang tua. Infantile Autism disebabkan harapan orang tua untuk tidak memiliki anak, karena pada saat itu psikoterapi yang sangat berpengaruh, maka ia menginstitusionalkan 46 anak dengan autistime untuk keluar dari stress berat. Namun tidak dilaporkan secara detail kelanjutan dari hasil pekerjaannya tersebut.

•Delacato (1974): Autisme disebabkan oleh Brain injured. Sebagai seorang Fisioterapi maka Delacato memberikan treatment yang bersifat sensoris. Pengaruh ini kemudian berkembang pada Doman yang dikemudian hari mengembangkan metode Gleen Doman.

•Lovaas (1987): Mengaplikasikan teori Skinne dan menerapkan Behavior Modification kepada anak-anak berkebutuhan khusus, termasuk anak dengan autistisme di dalamnya. Ia membuat program-program intervensi bagi anak-anak berkebutuhan khusus yang dilakukannya di UCLA. Dari hasil program-program Lovaas, anak-anak dengan autisme mendapatkan program modifikasi perilaku yang kemudian berkembang secara professional dalam jurnal-jurnal psikologi.

Hingga saat ini terdapat banyak program intervensi perilaku bagi anak dengan autisme, setiap program memiliki berbagai variasi dan pengembangan-pengembangan sendiri sesuai dengan penelitian-penelitan dilakukan. Perkembangan studi mengenai autisme kemudian disampaikan oleh Rogers, Sally J., sebagaimana disebutkan di bawah ini:

•1960s Heavy emphasis on causes of autism, correlates of autism
•1970s Heavy emphasis on assessment, diagnosis: emerging literature on treatment
•1980s Heavy emphasis on functional assessment and treatment, school-based services
•1990s Heavy emphasis on social interventions, assessment, school-based services
•2000s Litigation, school-based services

Implikasi Diagnosa Autisme

Implikasi Diagnosa Autisme

Secara historis, diagnosa autisme memiliki persoalan; suatu ketika para ahli dan peneliti dalam bidang autisme bersandarkan pada ada atau tidaknya gejala, saat ini para ahli dan peneliti tampaknya berpindah menuju berbagai karakteristik yang disebut sebagai continuum autism.
Aarons dan Gittents (1992) merekomendasikan adanya descriptive approach to diagnosis. Ini adalah suatu pendekatan deskriptif dalam mendiagnosa sehingga menyertakan observasi-observasi yang menyeluruh di setting-setting sosial anak sendiri.
Settingya mungkin di sekolah, di taman-taman bermain atau mungkin di rumah sebagai lingkungan sehari-hari anak dimana hambatan maupun kesulitan mereka tampak jelas diantara teman-teman sebaya mereka yang ‘normal’.
Persoalan lain yang mempengaruhi keakuratan suatu diagnosa seringkali juga muncul dari adanya fakta bahwa perilaku-perilaku yang bermasalah merupakan atribut dari pola asuh yang kurang tepat.

Perilaku-perilaku tersebut mungkin saja merupakan hasil dari dinamika keluarga yang negatif dan bukan sebagai gejala dari adanya gangguan. Adanya interpretasi yang salah dalam memaknai penyebab mengapa anak menunjukkan persoalan-persoalan perilaku mampu menimbulkan perasaan-perasaan negatif para orang tua.
Pertanyaan selanjutnya kemudian adalah apa yang dapat dilakukan agar diagnosa semakin akurat dan konsisten sehingga autisme sungguh-sungguh terpisah dengan kondisi-kondisi yang semakin memperburuk? Perlu adanya sebuah model diagnosa yang menyertakan keseluruhan hidup anak dan mengevaluasi hambatan-hambatan dan kesulitan anak sebagaimana juga terhadap kemampuan-kemampuan dan keterampilan-keterampilan anak sendiri.

Mungkin tepat bila kemudian disarankan agar para profesional di bidang autisme juga mempertimbangkan keseluruhan area, misalnya: perkembangan awal anak, penampilan anak, mobilitas anak, kontrol dan perhatian anak, fungsi-fungsi sensorisnya, kemampuan bermain, perkembangan konsep-konsep dasar, kemampuan yang bersifat sikuen, kemampuan musikal, dan lain sebagainya yang menjadi keseluruhan diri anak sendiri.
Bagi para orang tua dan keluarga sendiri perlu juga dicatat bahwa gejala autisme bersifat individual; akan berbeda satu dengan lainnya meskipun sama-sama dianggap sebagai low functioning atau dianggap sebagai high functioning.

Membutuhkan kesabaran untuk menghadapinya dan konsistensi untuk dalam penanganannya sehingga perlu disadari bahwa bahwa fenomena ini adalah suatu perjalanan yang panjang. Jangan berhenti pada ketidakmampuan anak tetapi juga perlu menggali bakat-bakat serta potensi-potensi yang ada pada diri anak.
Sebagai inspirasi kiranya dapat disebutkan beberapa penyandang autisme yang mampu mengembangkan bakat dan potensi yang ada pada diri mereka, misalnya: Temple Grandine yang mampu mengembangkan kemampuan visual dan pola berpikir yang sistematis sehingga menjadi seorang Doktor dalam bidang peternakan, Donna William yang mampu mengembangkan kemampuan berbahasa dan bakat seninya sehingga dapat menjadi seorang penulis dan seniman, Bradley Olson seorang mahasiswa yang mampu mengembangkan kemampuan kognitif dan kebugaran fisiknya sehingga menjadi seorang pemuda yang aktif dan tangkas dan mungkin masih banyak nama-nama lain yang dapat menjadi sumber inspirasi kita bersama.

Pada akhirnya, sebuah label dari suatu diagnosa dapat dikatakan berguna bila mampu memberikan petunjuk bagi para orang tua dan pendidik mengenai kondisi alamiah yang benar dari seorang anak. Label yang menimbukan kebingungan dan ketidakpuasan para orang tua dan pendidik jelas tidak akan membawa manfaat apapun.

sumber : wikipedia

Prevalensi Individu dengan autisme

Prevalensi Individu dengan autisme

Diperkirakan terdapat 400.000 individu dengan autisme di Amerika Serikat. Sejak tahun 80 – an, bayi-bayi yang lahir di California – AS, diambil darahnya dan disimpan di pusat penelitian Autisme. Penelitian dilakukan oleh Terry Phillips, seorang pakar kedokteran saraf dari Universitas George Washington. Dari 250 contoh darah yang diambil, ternyata hasilnya mencengangkan; seperempat dari anak-anak tersebut menunjukkan gejala autis. National Information Center for Children and Youth with Disabilities (NICHCY) memperkirakan bahwa autisme dan PDD pada tahun 2000 mendekati 50 – 100 per 10.000 kelahiran.

Penelitian Frombonne (Study Frombonne: 2003) menghasilkan prevalensi dari autisme beserta spektrumnya (Autism Spectrum Disorder/ASD) adalah: 60/10.000 – best current estimate dan terdapat 425.000 penyandang ASD yang berusia dibawah 18 tahun di Amerika Serikat. Di Inggris, data terbaru adalah: 62.6/10.000 ASD.
Autisme secara umum telah diketahui terjadi empat kali lebih sering pada anak laki-laki dibandingkan yang terjadi pada anak perempuan. Hingga saat ini penyebabnya belum diketahui secara pasti. Saat ini para ahli terus mengembangkan penelitian mereka untuk mengetahui sebabnya sehingga mereka pun dapat menemukan ‘obat’ yang tepat untuk mengatasi fenomena ini.

Bidang-bidang yang menjadi fokus utama dalam penelitian para ahli, meliputi; kerusakan secara neurologis dan ketidakseimbangan dalam otak yang bersifat biokimia. Dr. Ron Leaf saat melakukan seminar di Singapura pada tanggal 26 – 27 Maret 2004, menyebutkan beberapa faktor penyebab autisme, yaitu:

•Genetic susceptibility – different genes may be responsible in different families
•Chromosome 7 – speech / language chromosome
•Variety of problems in pregnancy at birth or even after birth

Meskipun para ahli dan praktisi di bidang autisme tidak selamanya dapat menyetujui atau bahkan sependapat dengan penyebab-penyebab di atas. Hal terpenting yang perlu dicatat melalui hasil penelitian-penelitian terdahulu adalah bahwa gangguan autisme tidak disebabkan oleh faktor-faktor yang bersifat psikologis, misalnya karena orang tua tidak menginginkan anak ketika hamil.

Bagaimana di Indonesia? Belum ditemukan data yang akurat mengenai keadaan yang sesungguhnya di Indonesia, namun dalam suatu wawancara di Koran Kompas; Dr. Melly Budhiman, seorang Psikiater Anak dan Ketua dari Yayasan Autisme Indonesia menyebutkan adanya peningkatan yang luar biasa. “Bila sepuluh tahun yang lalu jumlah penyandang autisme diperkirakan satu per 5.000 anak, sekarang meningkat menjadi satu per 500 anak” (Kompas: 2000).

Tahun 2000 yang lalu, Dr. Ika Widyawati; staf bagian Psikiatri Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia memperkirakan terdapat kurang lebih 6.900 anak penyandang autisme di Indonesia. Jumlah tersebut menurutnya setiap tahun terus meningkat. Hal ini sungguh patut diwaspadai karena jika penduduk di Indonesia saat ini mencapai lebih dari 160 juta, kira-kira berapa orang yang terdata sungguh-sungguh menyandang austime beserta spektrumnya?

5 jenis perilaku yang harus diwaspadai

Para penyandang Autisme beserta spektrumnya sangat beragam baik dalam kemampuan yang dimiliki, tingkat intelegensi, dan bahkan perilakunya. Beberapa diantaranya ada yang tidak 'berbicara' sedangkan beberapa lainnya mungkin terbatas bahasanya sehingga sering ditemukan mengulang-ulang kata atau kalimat (echolalia).
Mereka yang memiliki kemampuan bahasa yang tinggi umumnya menggunakan tema-tema yang terbatas dan sulit memahami konsep-konsep yang abstrak.
Dengan demikian, selalu terdapat individualitas yang unik dari individu-individu penyandangnya.

Terlepas dari berbagai karakteristik di atas, terdapat arahan dan pedoman bagi para orang tua dan para praktisi untuk lebih waspasa dan peduli terhadap gejala-gejala yang terlihat.
The National Institute of Child Health and Human Development (NICHD) di Amerika Serikat menyebutkan 5 jenis perilaku yang harus diwaspadai dan perlunya evaluasi lebih lanjut :

1.Anak tidak bergumam hingga usia 12 bulan
2.Anak tidak memperlihatkan kemampuan gestural (menunjuk, dada, menggenggam) hingga usia 12 bulan
3.Anak tidak mengucapkan sepatah kata pun hingga usia 16 bulan
4.Anak tidak mampu menggunakan dua kalimat secara spontan di usia 24 bulan
5.Anak kehilangan kemampuan berbahasa dan interaksi sosial pada usia tertentu

Adanya kelima ‘lampu merah’ di atas tidak berarti bahwa anak tersebut menyandang autisme tetapi karena karakteristik gangguan autisme yang sangat beragam maka seorang anak harus mendapatkan evaluasi secara multidisipliner yang dapat meliputi; Neurolog, Psikolog, Pediatric, Terapi Wicara, Paedagog dan profesi lainnya yang memahami persoalan autisme.

instrumen screening untuk mendiagnosa autisme

Autisme sebagai spektrum gangguan maka gejala-gejalanya dapat menjadi bukti dari berbagai kombinasi gangguan perkembangan. Bila tes-tes secara behavioral maupun komunikasi tidak dapat mendeteksi adanya autisme, maka beberapa instrumen screening yang saat ini telah berkembang dapat digunakan untuk mendiagnosa autisme:

•Childhood Autism Rating Scale (CARS): skala peringkat autisme masa kanak-kanak yang dibuat oleh Eric Schopler di awal tahun 1970 yang didasarkan pada pengamatan perilaku. Alat menggunakan skala hingga 15; anak dievaluasi berdasarkan hubungannya dengan orang, penggunaan gerakan tubuh, adaptasi terhadap perubahan, kemampuan mendengar dan komunikasi verbal

•The Checklis for Autism in Toddlers (CHAT):
berupa daftar pemeriksaan autisme pada masa balita yang digunakan untuk mendeteksi anak berumur 18 bulan, dikembangkan oleh Simon Baron Cohen di awal tahun 1990-an.

•The Autism Screening Questionare:
adalah daftar pertanyaan yang terdiri dari 40 skala item yang digunakan pada anak dia atas usia 4 tahun untuk mengevaluasi kemampuan komunikasi dan sosial mereka

•The Screening Test for Autism in Two-Years Old:
tes screening autisme bagi anak usia 2 tahun yang dikembangkan oleh Wendy Stone di Vanderbilt didasarkan pada 3 bidang kemampuan anak, yaitu; bermain, imitasi motor dan konsentrasi.

Diagnosa yang akurat dari Autisme maupun gangguan perkembangan lain yang berhubungan membutuhkan observasi yang menyeluruh terhadap: perilaku anak, kemampuan komunikasi dan kemampuan perkembangan lainnya. Akan sangat sulit mendiagnosa karena adanya berbagai macam gangguan yang terlihat. Observasi dan wawancara dengan orang tua juga sangat penting dalam mendiagnosa. Evaluasi tim yang terdiri dari berbagai disiplin ilmu memungkinkan adanya standardisasi dalam mendiagnosa.

Tim dapat terdiri dari neurolog, psikolog, pediatrik, paedagog, patologis ucapan/kebahasaan, okupasi terapi, pekerja sosial dan lain sebaginya

sumber : wikipedia

Diagnosa Autisme Sesuai DSM IV

A. Interaksi Sosial (minimal 2):

1.Tidak mampu menjalin interaksi sosial non verbal: kontak mata, ekspresi muka, posisi tubuh, gerak-gerik kurang tertuju
2.Kesultan bermain dengan teman sebaya
3.Tidak ada empati, perilaku berbagi kesenangan/minat
4.Kurang mampu mengadakan hubungan sosial dan emosional 2 arah

B. Komunikasi Sosial (minimal 1):

1.Tidak/terlambat bicara, tidak berusaha berkomunikasi non verbal
2.Bisa bicara tapi tidak untuk komunikasi/inisiasi, egosentris
3.Bahasa aneh & diulang-ulang/stereotip
4.Cara bermain kurang variatif/imajinatif, kurang imitasi social

C. Imaginasi, berpikir fleksibel dan bermain imaginatif (minimal 1):

1.Mempertahankan 1 minat atau lebih dengan cara yang sangat khas dan berlebihan, baik intensitas dan fokusnya
2.Terpaku pada suatu kegiatan ritualistik/rutinitas yang tidak berguna
3.Ada gerakan-gerakan aneh yang khas dan berulang-ulang. Seringkali sangat terpukau pada bagian-bagian tertentu dari suatu benda

Seorang anak penderita autisme, dengan jajaran mainan yang ia buat
Gejala autisme dapat sangat ringan (mild), sedang (moderate) hingga parah (severe), sehingga masyarakat mungkin tidak menyadari seluruh keberadaannya. Parah atau ringannya gangguan autisme sering kemudian di-paralel-kan dengan keberfungsian. Dikatakan oleh para ahli bahwa anak-anak dengan autisme dengan tingkat intelegensi dan kognitif yang rendah, tidak berbicara (nonverbal), memiliki perilaku menyakiti diri sendiri, serta menunjukkan sangat terbatasnya minat dan rutinitas yang dilakukan maka mereka diklasifikasikan sebagai low functioning autism.

Sementara mereka yang menunjukkan fungsi kognitif dan intelegensi yang tinggi, mampu menggunakan bahasa dan bicaranya secara efektif serta menunjukkan kemampuan mengikuti rutinitas yang umum diklasifikasikan sebagai high functioning autism. Dua dikotomi dari karakteristik gangguan sesungguhnya akan sangat berpengaruh pada implikasi pendidikan maupun model-model treatment yang diberikan pada para penyandang autisme. Kiranya melalui media ini penulis menghimbau kepada para ahli dan paktisi di bidang autisme untuk semakin mengembangkan strategi-strategi dan teknik-teknik pengajaran yang tepat bagi mereka. Apalagi mengingat fakta dari hasil-hasil penelitian terdahulu menyebutkan bahwa 80% anak dengan autisme memiliki intelegensi yang rendah dan tidak berbicara atau nonverbal. Namun sekali lagi, apapun diagnosa maupun label yang diberikan prioritasnya adalah segera diberikannya intervensi yang tepat dan sungguh-sungguh sesuai dengan kebutuhan mereka.

Referensi baku yang digunakan secara universal dalam mengenali jenis-jenis gangguan perkembangan pada anak adalah ICD (International Classification of Diseases) Revisi ke-10 tahun 1993 dan DSM (Diagnostic And Statistical Manual) Revisi IV tahun 1994 yang keduanya sama isinya. Secara khusus dalam kategori Gangguan Perkembangan Perpasiv (Perpasive Developmental Disorder/PDD):
Autisme ditunjukkan bila ditemukan 6 atau lebih dari 12 gejala yang mengacu pada 3 bidang utama gangguan, yaitu: Interaksi Sosial – Komunikasi – Perilaku.

sumber : wikipedia

Gangguan perkembangan perpasiv (PDD)

Gangguan perkembangan perpasiv (PDD) adalah istilah yang dipakai untuk menggambarkan beberapa kelompok gangguan perkembangan di bawah (umbrella term) PDD, yaitu:

1.Autistic Disorder (Autism) Muncul sebelum usia 3 tahun dan ditunjukkan adanya hambatan dalam interaksi sosial, komunikasi dan kemampuan bermain secara imaginatif serta adanya perilaku stereotip pada minat dan aktivitas.

2.Asperger’s Syndrome Hambatan perkembangan interaksi sosial dan adanya minat dan aktivitas yang terbatas, secara umum tidak menunjukkan keterlambatan bahasa dan bicara, serta memiliki tingkat intelegensia rata-rata hingga di atas rata-rata.

3.Pervasive Developmental Disorder – Not Otherwise Specified (PDD-NOS) Merujuk pada istilah atypical autism, diagnosa PDD-NOS berlaku bila seorang anak tidak menunjukkan keseluruhan kriteria pada diagnosa tertentu (Autisme, Asperger atau Rett Syndrome).

4.Rett’s Syndrome Lebih sering terjadi pada anak perempuan dan jarang terjadi pada anak laki-laki. Sempat mengalami perkembangan yang normal kemudian terjadi kemunduran/kehilangan kemampuan yang dimilikinya; kehilangan kemampuan fungsional tangan yang digantikan dengan gerakkan-gerakkan tangan yang berulang-ulang pada rentang usia 1 – 4 tahun.

5.Childhood Disintegrative Disorder (CDD) Menunjukkan perkembangan yang normal selama 2 tahun pertama usia perkembangan kemudian tiba-tiba kehilangan kemampuan-kemampuan yang telah dicapai sebelumnya.

Diagnosa Perpasive Develompmental Disorder Not Otherwise Specified (PDD – NOS) umumnya digunakan atau dipakai di Amerika Serikat untuk menjelaskan adanya beberapa karakteristik autisme pada seseorang (Howlin, 1998: 79). National Information Center for Children and Youth with Disabilities (NICHCY) di Amerika Serikat menyatakan bahwa Autisme dan PDD – NOS adalah gangguan perkembangan yang cenderung memiliki karakteristik serupa dan gejalanya muncul sebelum usia 3 tahun. Keduanya merupakan gangguan yang bersifat neurologis yang mempengaruhi kemampuan berkomunikasi, pemahaman bahasa, bermain dan kemampuan berhubungan dengan orang lain. Ketidakmampuan beradaptasi pada perubahan dan adanya respon-respon yang tidak wajar terhadap pengalaman sensoris seringkali juga dihubungkan pada gejala autisme.

sumber : wikipedia

Perkembangan Bahasa pada Anak Autis

Perkembangan Bahasa pada Anak Autis

Keluhan utama dari orang tua yang memiliki anak dengan ciri-ciri autistik adalah keterlambatan bicara atau bahkan belum bicara sama sekali. Banyak orang tua beranggapan jika anaknya bisa bicara maka 99% masalah anak akan terselesaikan. Ginanjar (Tanpa Nama, 2002) mengemukakan bahwa hal yang lebih penting adalah pemahaman anak terhadap bahasa dan kemampuan untuk berkomunikasi secara dua arah. Banyak anak autis yang mampu bicara, namun sebenarnya belum mampu memiliki pemahaman yang baik tentang apa yang mereka ucapkan dan diucapkan oleh orang lain. Tidak jarang anak autis yang bisa lancar mendeskripsikan sesuatu, menghapal lagu, meniru jingle iklan, membaca dengan baik, namun gagal ketika diajak tanya jawab mengenai kejadian sehari-hari. Sehingga, anak autis yang dapat berbicara belum tentu memiliki pemahaman bahasa yang baik serta dapat berbicara dengan benar.

Sebagian anak autis tidak dapat berkomunikasi baik dengan verbal maupun nonverbal. Biasanya mereka tidak dapat mengkomunikasikan perasaan maupun keinginan, sukar memahami kata-kata atau bahasa orang lain, sebaliknya kata-kata mereka sukar dipahami maknanya, berbicara sangat lambat, berbicara bukan untuk berkomunikasi, suka bergumam, dapat menghapal kata-kata atau nyanyian tanpa mengenali arti dan konteksnya, perkembangan bahasa sangat lambat bahkan sering tidak tampak dan komunikasi terkadang dilakukan dengan cara menarik-narik tangan orang lain untuk menyampaikan keinginannya

sumber :(Tanpa Nama, 2006).

Penyebab-penyebab Autisme

Hingga kini, belum terdeteksi faktor tunggal yang menjadi penyebab timbulnya gangguan autisme (Tanpa Nama, 2006). Namun demikian, terdapat beberapa teori yang dimungkinkan menjadi penyebab timbulnya autisme, yaitu sebagai berikut:

a.Teori Psikososial

Beberapa ahli seperti Kanner dan Bettelhem menganggap autisme sebagai akibat hubungan yang dingin atau tidak akrab antara orang tua (terutama ibu) dengan anak. Dengan demikian dikatakan bahwa orang tua atau pengasuh yang emosional, kaku, obsesif, tidak hangat bahkan dingin, dapat menyebabkan anak asuhnya menjadi autistik.

b.Teori Biologis

1)Faktor genetik, dimana keluarga yang terdapat anak autisme memiliki resiko yang lebih tinggi dibandingkan populasi keluarga normal.
2)Prenatal, natal dan postnatal, yaitu pendarahan pada masa kehamilan awal, obat-obatan, tangis bayi terlambat, gangguan pernapasan dan anemia.
3)Neuro anatomi, yaitu gangguan atau disfungsi pada sel-sel otak selama dalam kandungan yang mungkin disebabkan terjadinya gangguan oksigenasi, perdarahan atau infeksi.
4)Struktur dan biokimiawi, yaitu kelainan pada cerebellum dengan sel-sel purkinje yang jumlahnya terlalu sedikit, padahal sel-sel purkinje mempunyai kandungan serotonin yang tinggi.
Demikian juga kemungkinan tingginya kandungan dapomin atau opioid dalam darah.

c.Keracunan Logam Berat Keracunan logam berat umumnya terjadi pada anak yang tinggal di dekat tambang batu bara dan sebagainya.

d.Gangguan Pencernaan, Pendengaran dan Penglihatan Berdasarkan data yang ada, 60% anak autis mempunyai sistem pencernaan kurang sempurna dan kemungkinan timbulnya gejala autistik disebabkan karena adanya gangguan dalam pendengaran dan penglihatan.

Sufehmi (2006) juga menyebutkan beberapa hal yang dicurigai berpotensi menyebabkan anak menderita autisme, yaitu sebagai berikut:

a.Vaksin yang mengandung thimerosal Thimerosal adalah zat pengawet yang digunakan pada berbagai vaksin. Karena banyaknya kritikan, kini banyak negara maju yang memproduksi vaksin tanpa menggunakan thimerosal

b.Televisi Semakin maju suatu negara, biasanya interaksi antara orang tua-anak semakin berkurang karena berbagai hal. Sebagai kompensasinya, seringkali TV digunakan sebagai penghibur anak. Ternyata terdapat kemungkinan bahwa TV bisa menjadi penyebab autisme pada anak, terutama yang menjadi jarang bersosialisasi karenanya.

c.Makanan Berbagai zat kimia yang terdapat pada makanan modern (misalnya pengawet, pewarna dan lain-lain) dicurigai menjadi penyebab autisme pada beberapa kasus. Hal ini didasarkan pada penelitian yang dilakukan oleh Dr. Feingold yang melakukan terapi diet terhadap beberapa pasiennya yang menderita autis. Ketika zat-zat kimia tersebut dihilangkan dari makanan para penderita autisme, banyak yang mengalami peningkatan situasi secara drastis.

d.Radiasi pada janin bayi Sebuah riset dalam skala besar di Swedia menunjukkan bahwa bayi yang terkena gelombang ultrasonik berlebihan akan cenderung menjadi kidal. Dengan makin banyaknya radiasi di sekitar kita, ada kemungkinan radiasi juga berperan menyebabkan autisme. Sehingga, sebaiknya wanita menghindari USG jika tidak perlu.

e.Folic Acid Zat ini biasanya diberikan pada wanita hamil untuk mencegah cacat fisik pada janin dan hasilnya memang cukup nyata. Tingkat cacat pada janin menurun hingga sebesar 30%, namun di lain pihak tingkat autisme juga meningkat.

f.Sekolah lebih awal Hal ini memang mengejutkan, namun terdapat beberapa penelitian yang menunjukkan bahwa menyekolahkan anak lebih awal (preschool) dapat memicu rekasi autisme. Diperkirakan bayi yang memiliki bakat autisme sebetulnya bisa sembuh atau membaik dengan berada dalam lingkupan orang tuanya.

Namun, karena justru dipindahkan ke lingkungan asing yang berbeda (sekolah playgroup/preschool), maka beberapa anak jadi mengalami shock dan bakat autismenya menjadi muncul dengan sangat jelas

Gejala autisme menurut DSM - IV

Handojo (2003) juga mengemukakan beberapa gejala autisme masa kanak berdasarkan kriteria DSM-IV, yaitu sebagai berikut:

A.Harus ada sedikitnya 6 dari (1), (2) dan (3), dengan minimal 2 gejala dari (1) dan masing-masing gejala dari (2) dan (3).

1.Gangguan kualitatif dalam interaksi sosial yang timbal balik. Minimal harus ada 2 gejala dari gejala-gejala di bawah ini:

a)Tidak mampu menjalin interaksi sosial yang cukup memadai: kontak mata sangat kurang, ekspresi muka kurang hidup, gerak-gerik yang kurang tertuju.

b)Tidak bisa bermain dengan teman sebaya.

c)Tidak dapat merasakan apa yang dirasakan orang lain

d)Kurangnya hubungan sosial dan emosional yang timbal balik.


2.Gangguan kualitatif dalam bidang komunikasi seperti ditunjukkan oleh minimal satu dari gejala-gejala di bawah ini:

a)Bicara terlambat atau bahkan sama sekali tidak berkembang (dan tidak ada usaha untuk mengimbangi komunikasi dengan cara lain tanpa bicara).

b)Jika bisa bicara, bicaranya tidak dipakai untuk komunikasi.

c)Sering menggunakan bahasa yang aneh dan diulang-diulang.

d)Cara bermain kurang variatif, kurang imajinatif dan kurang bisa meniru.


3.Suatu pola yang dipertahankan dan diulang-ulang dari perilaku, minat dan kegiatan. Sedikitnya harus ada satu dari gejala di bawah ini:

a)Mempertahankan satu minat atau lebih dengan cara yang sangat khas dan berlebih-lebihan.

b)Terpaku pada suatu gerakan yang ritualistik yang tidak ada gunanya.

c)Ada gerakan-gerakan aneh yang khas dan diulang-ulang.

d)Seringkali sangat terpukau pada bagian-bagian benda.


B.Sebelum berumur 3 tahun tampak adanya keterlambatan atau gangguan dalam bidang:

1.Interaksi sosial
2.Bicara dan berbahasa
3.Cara bermain yang kurang imajinatif

C.Bukan disebabkan oleh Sindroma Rett atau Gangguan Disintegratif Masa Kanak

gejala-gejala autisme

2.Gejala-gejala Autisme

Gejala-gejala anak autisme dapat timbul sejak lahir dan anak tidak pernah mengalami perkembangan perilaku yang normal. Namun ada juga anak yang sejak lahir tampak normal dan baru pada usia sekitar 2 tahun terjadi hambatan perkembangan pada perilakunya dan bahkan kemudian terjadi kemunduran (regresi).

Handojo (2003) mengemukakan beberapa karakteristik yang dimiliki oleh penyandang autisme, yaitu sebagai berikut:

a.Selektif berlebihan terhadap rangsangan

b.Kurangnya motivasi untuk menjelajahi dunia baru

c.Respon stimulasi diri sehingga mengganggu interaksi sosial

d.Respon unik terhadap imbalan, khususnya imbalan dari stimulasi diri.

Anak merasa mendapatkan imbalan berupa hasil penginderaan terhadap perilaku stimulasi dirinya, baik berupa gerakan maupun berupa suara. Hal ini menyebabkan dirinya selalu mengulang perilakunya secara khas.

pengenalan autisme

1.Definisi Autisme

Kanner (Djohan, 2003) mengemukakan bahwa autisme berasal dari bahasa Yunani yaitu “autos” atau “sendiri” yang diartikan memiliki keanehan dalam bersosialisasi dengan dunia di luar dirinya. Banyak penderita dengan sindrom ini memiliki inteligensi rata-rata atau sering kali juga di atas rata-rata, tetapi umumnya mereka sudah didiskreditkan sejak awal.

Kartono dan Gulo (2003) mendefinisikan autisme sebagai kecenderungan pikiran-pikiran dan persepsi seseorang yang dipengaruhi oleh hasrat dan keinginannya serta dalam fantasi dan khayalan-khayalannya, dimana kenyataan objektif tidak terlihat karena adanya kecenderungan melihat dunia secara subjektif.

Sufehmi (2006) mengartikan autisme sebagai cacat pada perkembangan syaraf dan psikis manusia, baik sejak janin dan seterusnya, yang menyebabkan kelemahan dalam berinteraksi sosial, kemampuan berkomunikasi, perbedaan pola minat dan tingkah laku. Autisme cukup luas dan mencakup banyak hal.

Raka (2006) mendefinisikan autisme sebagai kumpulan gejala perilaku yang bervariasi pada setiap anak. Gangguan perilaku dapat berupa kurangnya interaksi sosial, penghindaran kontak mata, kesulitan dalam mengembangkan bahasa dan pengulangan tingkah laku. Utami (2001) mengemukakan bahwa autisme atau yang sering juga disebut dengan kelainan autis merupakan kelainan yang terjadi pada jaringan otak, dimana anak-anak penderita kelainan ini biasanya menunjukkan perilaku “tak peduli” pada lingkungan dan orang-orang di sekitarnya.

Chaplin (2002) mendefinisikan autisme sebagai cara berpikir yang dikendalikan oleh kebutuhan personal atau diri sendiri, dimana penderita menanggapi dunia berdasarkan penglihatan dan harapan sendiri dan menolak realitas, serta keasyikan ekstrim dengan pikiran dan fantasi sendiri. Anak autistik adalah anak dengan kecenderungan diam dan suka menyendiri yang ekstrim. Anak autistik bisa duduk serta bermain-main selama berjam-jam lamanya dengan jari-jarinya sendiri atau dengan serpihan-serpihan kertas. Tampaknya anak tersebut tenggelam dalam satu dunia fantasi batiniah sendiri. Autisme merupakan suatu kecatatan perkembangan yang dengan mantap mempengaruhi komunikasi lisan dan non lisan serta interaksi sosial pada usia di bawah 3 tahun yang berdampak pada perolehan pendidikan anak, dimana anak tersebut sering melakukan pengulangan aktifitas, penolakan terhadap perubahan lingkungan atau perubahan rutinitas harian dan tanggapan yang tidak lazim terhadap perasaan (Tanpa Nama, 2005).

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa autisme merupakan kecenderungan perilaku pada anak, dimana anak tersebut kurang dalam berinteraksi sosial, menghindari kontak mata, kesulitan dalam mengembangkan bahasa, sering mengulang tingkah lakunya serta kecenderungan melihat dunia secara subjektif dan menolak realitas

Selasa, 30 Maret 2010

Terapi Musik untuk Bangkitkan Konsentrasi Anak Autis

SALAH satu metode untuk menangani anak autis yakni memberikan pelajaran musik untuk menggugah konsentrasi mereka. Koordinator sekolah musik Gita Nada Persada Hani Yulia Adinda menyatakan, ada dua tahapan pembelajaran musik anak autis, yakni tahap dasar dan lanjutan.

Pada tahap dasar, anak autis cukup diberikan pengenalan nada saja, misalnya suara ketukan maupun bunyi-bunyian alat musik seperti drum. Setelah mengenal nada dasar, kemudian siswa masuk tahap lanjutan dengan diberikan musik yang lebih beralur seperti piano. Untuk sampai pada tahap lanjutan, tergantung keseriusan serta daya tangkap masing-masing anak autis. Agar usaha membangkitkan konsentrasi siswa lebih cepat, sekolah musik Gita Nada Persada juga mendatangkan psikolog untuk membantu pola berpikir anak autis. Untuk itu, tiap minggu ada pelayanan konsultasi psikologi yang dilakukan bagi siswa Gita Nada persada.

''Namun, akhir-akhir ini yang minta bantuan psikologi bukan si anak autis, melainkan guru musik yang mengajarnya setiap hari. Maklum, tingkah laku anak autis yang berlebihan membuat pikiran para guru tegang. Jadi, mereka membutuhkan bantuan psikolog," papar Adinda sambari tersenyum.
Selain itu, peranan orangtua juga menjadi faktor penentu keberhasilan anak autis menjalani hidup, baik dari pola kehidupan sehari-hari siswa maupun ritme belajar yang dilakukan kepada anak autis di rumah. "Jam tidur juga harus dijaga. Perhatian orangtua dituntut bisa mengendalikan pola hidup anaknya. Kalau tidak, konsentrasinya bisa bubar," tuturnya.

Dengan belajar musik, anak autis bisa menemukan konsentrasinya. Nada dan ketukan musik yang keluar dari piano dan drum mampu menembus arah pikirannya.

Seperti yang dilakukan Milka Rizki Bramasto (6), salah seorang siswa Gita Nada Persada. Dia begitu tenang saat jemarinya menari di atas tuts piano meski suaranya tidak beraturan. Maklum, Milka hanya bisa memainkan tiga tangga nada piano, yakni do, re, dan mi. Namun, dengan bermain musik, dia sedikit bisa mengatur konsentrasi yang ada di pikirannya. Ketukan nada yang keluar dari piano mampu menggugah daya ingat serta fokus seorang anak yang menderita autis. Sesekali, Milka bertingkah berlebihan dengan memukul badan piano. Reaksi yang berlebihan seperti itu sering dilakukan anak autis. Apa yang mereka inginkan juga harus segera terwujud. Pengajar musik Gita Nada Persada Trie Aprianto menuturkan, mengajarkan musik kepada siswa autis harus memiliki kesabaran tinggi.

Biasanya, para siswa sering bertingkah aneh. Pasalnya, antara tindakan serta pikirannya sering tidak bisa menyambung. "Kalau pertama kali mereka bermain musik, biasanya marah-marah tanpa sebab. Bahkan, ada yang sampai menangis histeris. Semua itu respons dari anak autis melawan kesadaran mereka," ujar Arie ketika ditemui dalam Pentas Musik Gita Persada di Hotel Santika, Surabaya. Untuk memahami musik, biasanya anak autis membutuhkan waktu dua tahun.
Sang anak juga bisa mengontrol dirinya sendiri. Untuk memberikan pelajaran, ada dua guru yang menangani seorang siswa. Satu guru bertugas mengajar cara bermain musik, sedangkan satu guru lainnya memegang tubuh anak autis. Kalau tidak dilakukan dua guru, bisa kerepotan. "Kalau tidak dua guru yang menangani, si anak autis bisa melompat-lompat dan main pukul. Jadi, mereka harus diarahkan dengan tindakan ekstra," pungkasnya. (Sindo Sore//mbs)

sumber : Okzone.com,Senin, 21 Januari 2008 - 15:35 wib

Penanganan Tepat pada Anak Autisme

AUTISME atau disebut dengan Autistic Spectrum Disorder (ASD), hingga kini belum diketahui secara pasti penyebabnya. Meski demikian, saat ini sudah ada beberapa langkah tepat untuk penderita autis agar dapat memiliki kemampuan bersosialisasi, bertingkah laku, dan berbicara.

Anak yang menderita autis sebenarnya dapat diketahui sejak usia dini. Karena umumnya gangguan ini muncul sebelum anak berusia tiga tahun. Hanya kebanyakan orangtua kurang aware dengan gejala yang timbul pada anaknya hingga usia empat tahun.
Padahal pada usia tersebut, anak sudah larut dengan dunianya sendiri sehingga tidak bisa berkomunikasi dan berinterkasi dengan teman-teman dan lingkungannya. Ketika kondisi tersebut terlambat diketahui, maka langkah utama yang harus dilakukan ialah memfokuskan kelebihan anak di bidang tertentu yang dikuasainya.

Nah, kunci sukses untuk membantu para orangtua atau keluarga agar penderita autis dapat berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya, maka seluruh anggota keluarga harus turut langsung membantu para penderita ini berusaha melakukan hal itu.

Menurut dr Irawan Mangunatmadja, Sp.A(K), pakar autis indonesia, beberapa keganjalan yang sering dilakukan oleh penderita autis dapat dibantu dengan melakukan empat macam terapi. Saat ini sudah terdapat beberapa terapi bagi penderita autis, baik itu terapi perilaku - ABA, terapi sensori integrasi, terapi okupasi, terapi wicara maupun terapi tambahan seperti terapi musik, AIT, Dolphin Assisted Therapy.

"Terapi perilaku - ABA merupakan terapi gentak untuk memperbaiki perilaku anak autis yang sering menyimpang. Salah satu hal yang dapat dilakukan ialah bersuara keras saat memberikan perintah pada anak. Kalau anak tidak mau melakukan apa yang diperintahkan, maka harus mengagetkan mereka," kata dr Irawan dalam seminar yang diselenggarakan di Kantor Pusat Sun Hope Indonesia, belum lama ini.

Terapi sensori integrasi, sambungnya, khusus ditujukan pada fungsi biologis otak. Sehingga otak melakukan segala sesuatu dengan benar. Sementara itu, terapi okupasi dilakukan untuk memperbaiki aktivitas penderita autis. Selain itu ada juga terapi wicara yang dilakukan untuk membantu penderita autis yang mengalami gangguan bicara agar bisa berbicara kembali.
Ternyata agar anak autis dapat kembali di tengah-tengah keluarganya, tak hanya langkah terapi saja yang dilakukan. Pemberian nutrisi tepat bagi penyandang autis juga harus diperhatikan. Karena pada beberapa studi menunjukkan bahwa anak yang mengalami autisme ternyata juga alergi terhadap makanan tertentu.
Menurut ahli gizi Sun Hope Indonesia, Fatimah Syarief, AMG, StiP, orang tua perlu memerhatikan beberapa jenis makanan yang sebaiknya dihindari seperti makanan yang mengandung gluten (tepung terigu), permen, sirip, dan makanan siap saji yang mengandung pengawet, serta bahan tambahan makanan.
"Penderita autis umumnya mengalami masalah pencernaan terutama makanan yang mengandung casein (protein susu) dan gluten (protein tepung)," kata Fatimah saat dihubungi okezone melalui telepon genggamnya, Rabu (30/4/2008).

Selain asupan makanan yang tepat, suplementasi pun perlu diberikan pada pasien autis mengingat adanya gangguan metabolisme penyerapan zat gizi (lactose intolerance) dan gangguan cerna yang diakibatkan karena konsumsi antibiotik dengan pemberian sinbiotic (kombinasi Sun Hope probiotik dan enzymes sebagai prebiotik).
"Meski suplemen penting diberikan pada penderita autis, hal yang paling tepat dilakukan adalah memberikan pengaturan nutrisi yang tepat. Ketika makanan tidak tepat masuk ke dalam tubuh, maka akan masuk ke usus halus dan tidak tercerna dengan baik. Akhirnya makanan tersebut keluar melalui urin, karena material tersebut sifatnya toxic (racun) sehingga terserap ke otak. Hal tersebut menyebabkan anak autis semakin hiperaktif," jelasnya panjang lebar.
Tak hanya itu saja, untuk membantu mengurangi gejala hiperaktif dan membantu meningkatkan konsentrasi dan perbaikan perilaku, suplementasi omega 3 yang terdapat pada Sun Hope Deep Sea dapat dijadikan alternatif.(nsa)

sumber : Rabu, 30 April 2008 - 16:00 wib,Chaerunnisa - Okezone

Lima cara sederhana mengembangkan kemampuan verbal anak autis.

Terlepas dari apakah seorang anak itu autis atau bukan seperti ilustrasi diatas, kasus terlambat bicara merupakan kasus yang dialami oleh anak bermasalah, seperti anak autis. Dalam sebuah seminar mengenai Penanganan Anak Bermasalah Khususnya dalam Segi Emosi dan Autism, Julianti Gunawan, menuliskan,"Ciri-ciri gejala autisme nampak dari gangguan perkembangan dalam bidang komunikasi, interaksi sosial, perilaku, emosi, dan sensoris”. Selanjutnya, terapis anak autis yang juga bekerja di Biro Konsultasi Psikologi sebuah yayasan pendidikan di Jakarta, merincikan,"gangguan komunikasi pada anak autis ditandai dengan tidak adanya kontak mata, terlambat berbicara atau sama sekali belum dapat bicara, sulit untuk memulai percakapan dengan orang lain, mengulang kata-kata atau membeo, berbicara dalam bahasa yang tidak dapat dimengerti atau bahasa planet, serta tidak memahami pembicaraan orang lain" Jadi, salah satu ciri gangguan komunikasi yang muncul pada anak autis adalah terlambat bicara atau sama sekali belum dapat bicara.

Terlambat bicara berhubungan dengan kemampuan anak menyampaikan kebutuhannya dengan suatu cara yang dapat dimengerti dengan benar atau perilaku komunikatif. Dalam sebuah makalah seminar bahasa juga dituliskan, perkembangan perilaku komunikatif dibagi dalam tiga kelompok; Pertama, Tahap Perlokusioner, dimana pesan diterima oleh pendengar tanpa ada usaha dari anak sehingga tidak terjadi komunikasi antara kedua belah pihak. Umumnya muncul sebelum umur 10 bulan. Kedua, Tahap Ilokusioner, ditandai dengan munculnya perilaku bahasa non verbal yang dapat dimengerti oleh pendengar, misalnya anak hanya menunjuk pada benda yang diinginkan. Ketiga, Perilaku Lokusioner, adalah fungsi bahasa yang dijadikan kedalam bentuk bahasa verbal. Sehingga pada tahap Perilaku Lokusioner sudah mulai timbul usaha dari anak untuk menyampaikan kebutuhannnya dalam bentuk bahasa verbal.

Kemampuan anak memasuki tahap Perilaku Lokusioner, merupakan langkah awal untuk mengembangkan kemampuan verbal atau mengembangkan kemampuan anak berbicara anak. Dibawah ini ada lima cara sederhana yang dapat dilakukan orang tua atau terapis untuk mengembangkan kemampuan verbal anak, antara lain:

PERMAINAN TIBA-TIBA
Permainan tiba-tiba merupakan permainan tidak terencana tapi mengasyikan, karena mengajari anak bicara dari apa yang menarik perhatiannya saat itu. Misalnya, anak tertarik pada kaleng bekas yang kebetulan tergeletak di lantai. Lantas anak mengambil, membuka dan menutup kaleng tersebut. Kesempatan ini dapat digunakan oleh orang tua atau terapis untuk mengajari konsep "buka" dan "tutup". Caranya, orang tua atau terapis menutup kaleng sambil mengatakan,"tutup". Lantas penutup kaleng tersebut diberikan kepada anak. Kemudian minta anak untuk mengikuti apa yang dilakukan sebelumnya. Atau, bisa juga menggunakan kaleng lain, agar orang tua atau terapis dan anak melakukan permainan ini secara bersamaan. Cara yang sama dilakukan juga untuk mengajari konsep,"buka." Bila anak bosan kita juga dapat ganti mengajari konsep lain, seperti "pelan" dan "berisik". Caranya, memukul kaleng perlahan dengan sendok, sambil berkata dengan nada suara pelan,"pelan!". Kemudian memukul kaleng sekencangnya sambil berteriak,"berisik!". Permainan dilakukan berulang dan dikembangkan dalam suasana yang menyenangkan. Anak akan lebih menikmati permainan bila kemudian orang tua atau terapis yang meniru tingkah anak dalam bermain.
Permainan tiba-tiba ini dapat dilakukan juga pada saat anak tertarik pada gambar kesukaannya, misalnya gambar gajah. Orang tua atau terapis bisa mengikuti tingkah anak menunjuk sambil menyebutkan nama "gajah" pada gambar yang ditunjuk. Bila anak tertawa dan senang tingkahnya diikuti oleh orang tua atau terapis secara berulang–ulang, hal ini akan memancing anak untuk meniru orang tua atau terapis tanpa disadarinya. Maka kesempatan ini dapat juga digunakan untuk mengajari anak menyebutkan nama binatang yang ada digambar selain gajah, seperti sapi, domba, kucing dan sebagainya. Selanjutnya, bisa juga dikembangkan menjadi dua kata, seperti "gajah abu-abu", "gajah India", atau..."susu sapi", “domba putih", dan seterusnya.

LOMBA MENAMAI BENDA
Permainan berikutnya adalah lomba menamai benda. Untuk mempraktekan cara ini, orang tua atau terapis membutuhkan gambar–gambar yang sudah dikenal dan akan dinamai. Misalkan, gambar topi, burung, sepatu, apel, gajah, dan sebagainya yang dapat dipotong dari majalah bekas. Tempelkan gambar pada karton berukur post card (gambar 2.1) agar kelihatan menarik, lalu tempelkan pada dinding kamar terapi atau ruang keluarga. Kemudian membuat lomba dengan instruksi yang sederhana pada anak. Misalkan, "lari, pegang gambar topi, lalu sebutkan "topi". Setelah instruksi diberikan, orang tua atau terapis lari bersama anak untuk memegang gambar topi sambil berteriak,"topi". Permainan ini dapat juga dikembangkan dengan menyebutkan dua kata, seperti, topi merah, topi baru, topi sekolah (bila memang itu gambar topi sekolah), dan sebagainya.
Permainan lomba menamai benda akan lebih menyenangkan bila mengajak saudara, teman, atau anak tetangga yang sebaya dengan anak. Tapi, sebaiknya permainan cukup melibatkan anak dengan dua pemain lainnya, agar anak lebih mudah meniru, dan tetap dapat mengikuti permainan dengan baik. Supaya permainan lomba menamai benda ini lebih menantang, maka gambar-gambar yang akan dinamai di tempelkan agak tinggi, agar anak harus melompat saat menyentuh gambar yang akan dinamai tersebut.

LAGU ATAU NYANYIAN
Lagu adalah cara menyenangkan untuk mengembangkan kemampuan verbal anak, karena umumnya anak-anak suka sekali bernyanyi. Melalui bernyanyi anak dapat belajar mengucapkan lirik lagu tersebut satu persatu. Mengajari anak menyanyi dapat dimulai dari lagu pendek dan sederhana, yang tentunya sangat disukai oleh anak, misalkan "Topi Saya Bundar", "Kepala Pundak Lutut Kaki", "Balonku Ada Lima", atau "Aku Punya Anjing Kecil". Selain itu, lagu juga dapat memperkaya imajinasi anak, dimana lirik lagu tersebut diubah sesuai dengan karakter lagu. Misalkan, lagu Aku Punya Anjing Kecil dapat diganti liriknya
Disamping itu, anak akan merasa senang bila lagu tersebut dinyanyikan memakai gerakan yang sesuai dengan lirik lagu. Dan akan lebih menarik lagi bila nama anaknya disebutkan dalam lirik lagu tersebut.

MENONTON TELEVISI
Sebenarnya, nonton televisi dapat dijadikan sarana untuk mengajar anak berbicara dan komunikasi, asalkan orang tua atau terapis mau menyediakan waktu untuk nonton bersama. Hal pertama yang perlu dilakukan sebelum mengajari anak berbicara melalui nonton tivi, adalah mengetahui film apa yang menjadi kesukaan anak, seperti film Teletubbies, Donal Bebek, dan sebagainya. Kedua, mengetahui sejauh mana kemapuan anak dalam mengenal konsep, seperti warna, bentuk, jumlah, benda, dan sebagainya. Hal ini akan membantu saat meminta anak menceritakan apa yang ditonton pada orang tua atau terapis. Misalkan,”siapa sih yang naik skuter?"; "baju Lala warnanya apa sih?" dan sebagainya. Sebaiknya, jangan minta anak menceritakan sesuatu di dalam film yang tidak diketahuinya, seperti menyebutkan warna baju yang dipakai Lala sementara anak belum tahu tentang warna. Tetapi, sebaiknya diberitahu dulu apa yang sedang ditonton pada anak saat itu, lalu ditanyakan kembali pada kesempatan yang berbeda.

PERMAINAN BERPURA-PURA
Permainan berpura-pura atau Pretend Play merupakan salah satu cara lain untuk mengembangkan kemampuan verbal anak, melalui skenario pendek yang dibuat dari permainan yang dipilih, contohnya "Pura-pura jadi dokter". Orang tua atau terapis dapat membuat skenario pendek antara seorang dokter dengan pasiennya. Dimana orang tua atau terapis menjadi dokter dan anak menjadi pasien. Contoh sederhana dari skenario permainan "pura-pura jadi dokter".

oleh: Johann Ririmasse
02/21/2003

KARAKTERISTIK AUTIS

KARAKTERISTIK AUTIS

The National Autistic Society mengemukakan ada tiga karakter utama yang menunjukkan seseorang menderita autis yakni :

•Social interaction – kesulitan dalam melakukan hubungan sosial,

•Social communication – kesulitan dengan kemampuan komuniskasi secara verbal dan nion verbal, sebagai contoh tidak mengetahui arti gerak isyarat, ekspresi wajah ataupun penekanan suara.

•Imagination – kesulitan untuk mengembangkan mainan dan imajinasinya, sebagai contoh memiliki keterbatasan aktifitas yang membutuhkan imajinasi.
Julianti Gunawan, menuliskan,”Ciri-ciri gejala autisme nampak dari gangguan perkembangan dalam bidang komunikasi, interaksi sosial, perilaku, emosi, dan sensoris. Secara umum, anak autis dikatakan “sembuh” bila mampu hidup mandiri (sesuai dengan tingkat usia), berperilaku normal, berkomunikasi dan bersosialisasi dengan lancar serta memiliki pengetahuan akademis yang sesuai anak seusianya.

Maret 1, 2008
Posted by estupitarto in Uncategorized.

"Hypnotherapy Sederhana Untuk Menangani Anak Penderita Autisme Yang Dapat Dilakukan Sendiri Oleh Para Orang Tua"

Pikiran bawah sadar manusia menyimpan misteri yang luar biasa. Banyak hal yang menyangkut manusia bersumber dari berbagai data dan nilai yang tersimpan di pikiran bawah sadar. Pikiran bawah sadar tidak saja terkait dengan perilaku dan mental, tetapi lebih jauh lagi pikiran bawah sadar dapat merubah metabolisme, mempercepat penyembuhan, atau bahkan memperburuk suatu kondisi penyakit.

Dalam dunia medis dikenal istilah Psikosomatis, yaitu penyakit yang pada awalnya dipicu oleh suatu gangguan psikologis, tetapi kemudian berangsur-angsur menjelma menjadi penyakit fisik, contoh yang paling umum untuk penyakit jenis ini adalah Asma, yang seringkali dipicu oleh suatu kejadian traumatik di masa kecil.

Autis bukanlah penyakit yang sederhana, akan tetapi melalui konsep bahwa nilai-nilai yang terdapat di dalam pikiran bawah sadar dapat memicu berbagai hal, termasuk memicu otak dalam mengontrol tubuh fisik, maka Hypnotherapy dapat diterapkan untuk membantu penyembuhan penderita Autis.


Note :
Tulisan di atas merupakan penggalan dari Artikel yang dibuat oleh Yan Nurindra, seorang Hypnotherapist Trainer terkemuka Indonesia. Artikel selengkapnya dapat dibaca langsung di website www.YanNurindra.com dan dapat disebar luaskan sebagai referensi tambahan bagi mereka yang berkepentingan terhadap penanganan Autis pada anak.
22 July 2006, 01:39 AM

Definisi Autis

Autisme dalam Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder R-IV merupakan salah satu dari lima jenis gangguan dibawah payung PDD (Perpasive Development Disorder) di luar ADHD (Attention Deficit Hyperactivity Disorder) dan ADD (Attention Deficit Disorder).
Gangguan perkembangan perpasiv (PDD) adalah istilah yang dipakai untuk menggambarkan beberapa kelompok gangguan perkembangan di bawah (umbrella term) PDD, yaitu:

1.Autistic Disorder (Autism) Muncul sebelum usia 3 tahun dan ditunjukkan adanya hambatan dalam interaksi sosial, komunikasi dan kemampuan bermain secara imaginatif serta adanya perilaku stereotip pada minat dan aktivitas.

2.Asperger’s Syndrome Hambatan perkembangan interaksi sosial dan adanya minat dan aktivitas yang terbatas, secara umum tidak menunjukkan keterlambatan bahasa dan bicara, serta memiliki tingkat intelegensia rata-rata hingga di atas rata-rata.

3.Pervasive Developmental Disorder – Not Otherwise Specified (PDD-NOS) Merujuk pada istilah atypical autism, diagnosa PDD-NOS berlaku bila seorang anak tidak menunjukkan keseluruhan kriteria pada diagnosa tertentu (Autisme, Asperger atau Rett Syndrome).

4.Rett’s Syndrome Lebih sering terjadi pada anak perempuan dan jarang terjadi pada anak laki-laki. Sempat mengalami perkembangan yang normal kemudian terjadi kemunduran/kehilangan kemampuan yang dimilikinya; kehilangan kemampuan fungsional tangan yang digantikan dengan gerakkan-gerakkan tangan yang berulang-ulang pada rentang usia 1 – 4 tahun.

5.Childhood Disintegrative Disorder (CDD) Menunjukkan perkembangan yang normal selama 2 tahun pertama usia perkembangan kemudian tiba-tiba kehilangan kemampuan-kemampuan yang telah dicapai sebelumnya.

Autisme adalah gangguan pervasif pada anak yang ditandai dengan adanya gangguan dan keterlambatan dalam bidang kognitif, bahasa, perilaku, komunikasi, dan interaksi social. Kata autis berasal dari bahasa Yunani “auto” berarti sendiri yang ditujukan kepada seseorang yang hidup dalam dunianya sendiri.

Kondisi penyandang autisme kiranya sesuai dengan definisi autisme menurut Kamus Besar Bahasa Indonesi (KBBI) Edisi Ketiga tahun 2003 yang menyatakan bahwa autisme adalah gangguan perkembangan pada anak yang berakibat tidak dapat berkomunikasi dan tidak dapat mengekspresikan perasaan dan keinginannya sehingga perilaku hubungan dengan orang lain terganggu (2003:77).

Definisi tersebut didukung dengan pendapat Peeters yang menyatakan bahwa autisme merupakan suatu gangguan perkembangan, gangguan pemahaman atau pervasif, dan bukan suatu bentuk penyakit mental (2004:14).
Sedangkan menurut Baron-Cohen (1993), autisme adalah suatu kondisi mengenai seseorang sejak lahir ataupun saat masa balita, yang membuat dirinya tidak dapat membentuk hubungan sosial atau komunikasi yang normal. Akibatnya anak tersebut terisolasi dari manusia lain dan masuk dalam dunia repetitive, aktivitas dan minat yang obsesif.

Autisme juga bukan penyakit mental, tentunya anak penyandang autisme tidak seharusnya dirawat di rumah sakit jiwa. Orang tualah pemegang kunci pertama pengenalan dini pada anak penyandang autisme agar tidak terjadi kesalahan penanganan yang dapat memperparah kondisi dan perkembangan jiwanya. Oleh karena itu, penting sekali penanganan dini bagi anak-anak autistik (Hadriami, 2002:151-152).

SUMBER: Sutarsih; 2010; Bahasa dan Autisme: Kekuatan Bahasa Menembus Kesenyapan; http://pusatbahasa.diknas.go.id/laman/nawala.php?info=artikel&infocmd=show&infoid=40&row=2; 11Maret2010

macam-macam mitos autisme

Mitos - mitos lainnya :

•Autisme adalah akibat salah asuhan orang tua

•Anak autis adalah anak yang tidak disiplin dan tidak dapat diatur dan ini hanyalah kelainan perilaku.

•Kebanyakan orang autis berpendidikan dan ahli terkemuka dalam bidang ilmu pengetahuan dan bidang lainnya seperti digambarkan dengan sangat bagus dalam film 'Rain Man' yang diperankan oleh Dustin Hoffman.

•Anak autis adalah anak anak tanpa perasaan dan emosi

•Anak autis tidak menyukai daya tarik fisik

•Anak autis tidak tersenyum

•Anak Autis tidak menginginkan teman

•Anak autis dapat berbicara jika mereka mau

•Autisme adalah ketidak mampuan emosional

(*mitos = dongeng, cerita yang di-buat buat)

sumber:
-Artikel dan sharing pengalaman orang tua
-Versi Inggris di Triad Impairments

Mitos mengenai Autisme ( 3 dan 4 )

Mitos-3 : Anak dengan kelainan autisme tidak berbicara
Banyak anak penyandang autis dapat mempunyai kemampuan berbahasa dengan baik. Sebagian besar dari mereka dapat berkomunikasi dengan menggunakan simbol, gambar, komputer ataupun peralatan elektronik.

Mitos-4 : Anak dengan kelainan autisme tidak dapat menunjukkan kasih sayang
Barangkali mitos yang paling berlebihan adalah menganggap anak penyandang autisme tidak dapat menerima ataupun memberikan kasih sayang. Kita mengetahui bahwa stimulasi sensor anak autis diproses dengan cara yang berbeda dengan anak normal sehingga mengakibatkan anak autis mengalami kesulitan dalam meng-ekspresikan kasih sayang dengan cara yang lazim dilakukan oleh anak normal. Anak autis dapat memberikan dan menerima kasih sayang dengan cara mereka sendiri, kadangkala anggota keluarga ataupun teman mereka harus sabar menunggu dan belajar untuk dapat mengerti dan menghargai kemampuan anak autis yang terbatas dalam berhubungan dengan orang lain.

Mitos mengenai Autisme ( 1 dan 2)

Mitos mengenai Autisme

Mitos-1 : Anak dengan kelainan autisme tidak pernah memandang mata lawan bicara-nya.
Banyak anak penyandang autisme ternyata dapat melakukan kontak mata tapi kontak mata tersebut mungkin dilakukan dalam jangka waktu yang lebih singkat dan sedikit berbeda dengan anak anak yang normal. Banyak diantaranya dapat bertatap muka, tersenyum dan meng-ekspresikan komunikasi non-verbal (bahasa tubuh) dengan baik.

Mitos-2 : Anak dengan kelainan autisme adalah anak jenius
Mitos yang menyatakan didalam anak penyandang autis tersembunyi kemampuan jenius mungkin dapat terjadi karena berbedanya kemampuan yang di-tunjukkan oleh anak penyandang autisme. Mereka dapat menunjukkan kemampuan fisik yang baik tetapi tidak dapat berbicara. Seorang anak autis dapat mengingat tanggal ulang tahun dari semua teman sekelasnya akan tetapi mengalami kesulitan kapan harus menggunakan kata 'kamu' atau 'saya'. Anak autis dapat membaca dengan artikulasi yang baik tetapi tidak dapat mengerti apa yang baru mereka baca. Anak autis dapat mempunyai IQ yang sangat tinggi. Sebagian besar anak autis menunjukkan keterlambatan dalam beberapa hal yang menggunakan ataupun memerlukan proses mental. Persentasi anak autis yang mempunyai intelegensi diatas normal ataupun dibawah normal adalah sangat kecil.

Seperti apakah anak yang terkena autisme?

Seperti apakah anak yang terkena autisme?

Sejak lahir sampai dengan umur 24 - 30 bulan anak anak yang terkena autisme umumnya terlihat normal. Setelah itu orang tua mulai melihat perubahan seperti keterlambatan berbicara, bermain dan berteman (bersosialisasi). Autisme adalah kombinasi dari beberapa kelainan perkembangan otak. Kemampuan dan perilaku dibawah ini adalah beberapa kelainan yang disebabkan oleh autisme.


Komunikasi:
Kemampuan berbahasa mengalami keterlambatan atau sama sekali tidak dapat berbicara. Menggunakan kata kata tanpa menghubungkannya dengan arti yang lazim digunakan. Berkomunikasi dengan menggunakan bahasa tubuh dan hanya dapat berkomunikasi dalam waktu singkat.

Bersosialisasi (berteman)
Lebih banyak menghabiskan waktunya sendiri daripada dengan orang lain. Tidak tertarik untuk berteman. Tidak bereaksi terhadap isyarat isyarat dalam bersosialisasi atau berteman seperti misalnya tidak menatap mata lawan bicaranya atau tersenyum.

Kelainan penginderaan
Sensitif terhadap cahaya, pendengaran, sentuhan, penciuman dan rasa (lidah) dari mulai ringan sampai berat.

Bermain
Tidak spontan / reflek dan tidak dapat berimajinasi dalam bermain. Tidak dapat meniru tindakan temannya dan tidak dapat memulai permainan yang bersifat pura pura.

Perilaku
Dapat menjadi sangat hiperaktif atau sangat pasif (pendiam). Marah tanpa alasan yang masuk akal. Amat sangat menaruh perhatian pada satu benda, ide, aktifitas ataupun orang. Tidak dapat menunjukkan akal sehatnya. Dapat sangat agresif ke orang lain atau dirinya sendiri.
Seringkali sulit mengubah rutinitas sehari hari.

Diagnosa dini dan peran aktif orang tua dapat mempermudah penanganan anak penyandang autisme.

Sejauh ini tidak ditemukan tes klinis yang dapat mendiagnosa langsung autisme. Diagnosa yang paling tepat adalah dengan cara seksama mengamati perlilaku anak dalam berkomunikasi, bertingkah laku dan tingkat perkembangannya. Dikarenakan banyaknya perilaku autisme juga disebabkan oleh adanya kelainan kelainan lain (bukan autis) sehingga tes klinis dapat pula dilakukan untuk memastikan kemungkinan adanya penyebab lain tersebut.

Karena karakteristik dari penyandang autisme ini banyak sekali ragamnya sehingga cara diagnosa yang paling ideal adalah dengan memeriksakan anak pada beberapa tim dokter ahli seperti ahli neurologis, ahli psikologi anak, ahli penyakit anak, ahli terapi bahasa, ahli pengajar dan ahli profesional lainnya dibidang autisme. Dokter ahli / praktisi profesional yang hanya mempunyai sedikit pengetahuan / training mengenai autisme akan mengalami kesulitan dalam men-diagnosa autisme. Kadang kadang dokter ahli / praktisi profesional keliru melakukan diagnosa dan tidak melibatkan orang tua sewaktu melakukan diagnosa. Kesulitan dalam pemahaman autisme dapat menjurus pada kesalahan dalam memberikan pelayanan kepada penyandang autisme yang secara umum sangat memerlukan perhatian yang khusus dan rumit.

Hasil pengamatan sesaat belumlah dapat disimpulkan sebagai hasil mutlak dari kemampuan dan perilaku seorang anak. Masukkan dari orang tua mengenai kronologi perkembangan anak adalah hal terpenting dalam menentukan keakuratan hasil diagnosa. Secara sekilas, penyandang autis dapat terlihat seperti anak dengan keterbelakangan mental, kelainan perilaku, gangguan pendengaran atau bahkan berperilaku aneh dan nyentrik. Yang lebih menyulitkan lagi adalah semua gejala tersebut diatas dapat timbul secara bersamaan.

Karenanya sangatlah penting untuk membedakan antara autisme dengan yang lainnya sehingga diagnosa yang akurat dan penanganan sedini mungkin dapat dilakukan untuk menentukan terapi yang tepat.

Kriteria Gangguan Autisma

Kriteria Gangguan Autisma

•Dari total enam (atau lebih) item dari (1), (2) dan (3), dengan sedikitnya dua dari (1) dan sisanya dari (2) atau (3).
•Penurunan kwalitatif dalam interaksi sosial, yang dinyatakan sedikitnya dua diantara yang berikut:

•Penurunan berbagai perilaku nonverbal seperti kontak mata, expresi wajah, perawakan badan dan isyarat dalam interaksi sosial.
•Kegagalan untuk mengembangkan hubungan kerjasama sesuai tingkatan perkembangan.
•Tidak adanya pergerakan spontan untuk mencari, memberi atau minat terhadap suatu benda dan menunjukkannya kepada orang lain.
•Tidak adanya sosialisasi atau timbal balik emosional

•Penuruna kualitatif dalam komunikasi, yang dinyatakan sedikitnya satu dari yang berikut :
•Kesulitan/tidak adanya perkembangan bahasa bicara (tidak diiringi oleh, usaha perbaikan dengan alternatif komunikasi seperti isyarat/mimik).
•Individu dengan suara yang cukup, penurunan dalam kemampuan berkomunikasi dan arah dengan orang lain.
•Penggunaan bahasa yang diulah atau membeo
•Perilaku yang spontanitas yang suka meniru sesuai tingkat perkembangan.
•Keterbatasan, pengulangan, dan peniruan perilaku, minat & aktivitas, yang dinyatakan sedikitnya satu dari yang berikut :
•Ketertarikan terhadap satu atau lebih peniruan dan minat terhadap suatu dengan intensitas dan fokus.
•Minat yang tidak fleksibel ke spesifik, rutinitas dan ritual yang tidak berfungsi
•Perulangan aktivitas dan peniruan.
•Keasyikan dengan bagian dari suatu benda.
•Keterlambatan/tidak bermalnya fungsi berikut sdikitnya satu dari yang beriku, sebelum usia 3 tahun : (1) Iteraksi sosial (2) Bahasa yang digunakan dalam komunikasi sosial atau (3) permainan imajinatif & simbolis.

•Gangguan-gangguan tersebut tidak lebih baik oleh gangguan Rett atau gangguan disintegratif pada kanak-kanak.

Definisi Asosiasi Psikiater Amerika

Definisi Asosiasi Psikiater Amerika

Karena Gangguan Spektrum Autis umumnya didiagnosa oleh komunitas medis menggunakan ukuran-ukuran permanen di dalam Diagnostik and Statistikal Manual of Mental Disorder, edisi ke-4. Perbaikan teks (Asosiasi Psikiater Amerika, 2000), adalah penting bahwa anda memahami definisi ini sebagaimana yang disediaka IDEA. Seperti yang dicatat diawal APA menggolongkan autisma sebagai jenis Gangguan Perkembangan Peruasif (GPP) yang ditandai oleh perusakan-perusakan pelemahan di beberapa area perkembangan; kemampuan interaksi sosial, keterampilan komunikasi atau pengulangan perilaku, minat dan aktivitas.
Sub kategori dari gangguan perkembangan peruasif dalam diskusi ini meliputi gangguan autistik, sindrom asperger, dan gangguan perkembangan peruasif tidak termasuk yang ditetapkan.

Hasil diagnosa dari gangguan autis disediaka bagi individu yang menunjukkan penurunan interaksi sosial dan komunikasi, seperti halnya, perulangan, membeo dan diiringi oleh keterlambatan mental/retardasi mental.

Definisi Pemerintah Pusat mengenai autisma

Definisi Pemerintah Pusat mengenai autisma

Ketika autisma ditambahkan ke dalam IDEA pada tahun 1990, hal itu diartikan :

•Autisma berarti suatu kecacatan perkembangan yang dengan mantap mempengaruhi komunikasi lisan dan non lisan dan interaksi sosial, pada usia dibawah 3 tahun, yang berdampak pada perolehan pendidikan pada anak. Karakteristik lain yang dikaitkan dengan anak autis adalah perulangan aktifitas, penolakan terhadap perubahan lingkungan atau perubahan rutinitas harian dan tanggapan yang tak lazim pada perasaan. Istilah tersebut berlaku jika perolehan pendidikan anak kurang baik karena anak mengalami gangguan emosional

•Seorang anak yang memperlihatkan gejala “autis” pada usia di atas 3 tahun dapat didiagnosa mengalami “autisma” jika kriteria pada paragraf di atas terpenuhi.
Definisi ini mengikuti pedoman IDEA, menspesifikasikan beberapa karakter yang esensial dari siswa dengan gangguan tersebut, di luar kecacatan lain, dan ketetapan dampak dan perolehan pendidikan. Bagaimanapun, hal itu tidak menyediakan banyak detil dalam istilah-istilah dari pemahaman banyaknya jenis siswa yang mungkin mengalami gangguan-gangguan ini.

Definisi Gangguan Spektrum Autis

Definisi Gangguan Spektrum Autis

Sebagaimana yang telah anda temukan untuk jenis kecacatan yang lain, bahasa yang berhubungan dengan autisma memerlukan suatu penjelasan yang ringkas. Istilah tradisional yang digunakan untuk kelompok ini adalah Autisma, dan istilah tersebut telah digunakan banyak orang dan digunakan dalam IDEA dan beberapa undang-undang pendidikan khusus. Istilah Gangguan Spektrum Autis digunakan dalam buku ini karena mengklasifikasikan bahwa gangguan ini terjadi dalam banyak cara dan tidak bisa diuraikan dalam masing-masing jalan. Gangguan spektrum Autis dengan cepat menjadi istilah yang dipilih oleh para ahli dalam bidangnya. Akhirnya, seperti yang akan anda pelajari nanti, di dalam lingkaran medis, Autisme & Sindrom Asperger keduanya dipertimbangkan menjadi bagian dan kecacatan yang disebut gangguan perkembangan pervasif (GPP).

Awal Kepercayaan & Penyusunan Pemahaman autis

Awal Kepercayaan

Selama tahun 1950-an & 1960-an para ahli medis percaya bahwa autis disebabkan oleh pemisahkan, kurangnya ibu – terkadang disebut “ibu lemari pendingin” suatu acuan terhadpa dinginnya mereka – yang melakukan kesalahan dalam pengasuhan bayi mereka. Sebagi dampak dari kepercayaan ini, banyak ibu menginginkan bagaimana membuat yang memiliki autisme agar mendapatkan kehangatan dan cinta agar anak-anak dapat tumbuh dengan baik. Penelitian kemudian mulai mempertanyakan masalah ini, namun tidak sampai tahun 1970-an muncullah studi dari pertunjukan kembar berdasarkan genetika untuk austisma. Setelah 10 tahun kemudian, studi ini telah diperluas & ditinjau kembali, dan telah sepenuhnya dapat membuktikan ketidakbenaran dongeng dari kesalahan pengasuhan sebagai penyebab autisma.

Penyusunan Pemahaman

Pada tahun 1981 perbedaan antara autisma & Sindrom Asperger menjadi hilang ketika Lorna Wing menulis tentang 35 anak & orang dewasa dengan gangguan keterlambatan, menimbulkan minat dalam perawatan & dalam hal ini. Sejak saat itu, para ahli lebih mempelajari sebagian besar tentang sekitar 2 perbedaan yang nyata. Sebagai contoh, mereka telah menentukan bahwa individu tersebut dengan gangguannya, mungkin memiliki gejala yang halus atau mungkin dampak yang cukup jelas (Wing, 1991). Autisme telah diidentifikasi sebagai salah satu katgori kecacatan dalam IDEA yang berawal pada tahun 1990 dan pada tahun 1994 ditambah menjadi gangguan khusus oleh Asosiasi Psikiater Amerika (APA) yang secara luas menggunakan Diagnostik dan Statistika Manual of Mentel Disorder, edisi ke 4 (Asosiasi Psikiater Amerika, 1994).

perkembangan autis

Perkembangan

Pada tahun 1943, Leo Kanner, seorang psikolog membagi ke dalam sebelas kelompok anak-anak kelainan ini dengan kelainan yang lain. Menurut Kanner (1943), kebutuhan khusus anak-anak adalah nyata bahkan dari awal masa kanak-kanak, antara lain :
•Suatu ketidakmampuan dalam berhubungan dengan orang lain.
•Keterlambatan perkembangan bahasa, yaitu kegagalan perkembangan untuk tujuan komunikasi.
•Perkembangan dan pertumbuhan fisik.
•Perilaku akibat lingkungan.
•Memiliki suatu keasyikan dan daya tarik yang lebih pada suatu obyek.
•Perilaku yang berulang-ulang (stererotifik) dan memiliki stimulasi-stimulasi lain.

Karakteristik autis yang utama seperti telah dijelaskan oleh Leo Kanner yang lebih dari separuh abad yang lalu telah ditinjau kembali dan pada tahun terakhir definisi konseptual, autis berkembang menurut pengamatan Kanner. Kira-kira pada waktu yang sama sama kanner menulis tentang autis, Han Aspenger, seorang dokter, bekerjasama dengan kelompok anak-anak dengan gangguan perkembangan saraf dan gangguan sosial. Aspenger. Menjelaskan tentang kelompok anak diagnostik secara rinci (aspenger, 1944).
Pekerjaan aspenger ini menekankan pada penyimpangan sosial, pengasingan, yaitu menyangkut kemampuan belajar anak. Ia mempercayai bahwa dalam beberapa hal anak-anak membentuk suatu kelompok yang berbeda.

ANAK DENGAN GANGGUAN SPEKTRUM AUTIS

ANAK DENGAN GANGGUAN SPEKTRUM AUTIS

Jika anda mendapatkan informasi tentang anak autis dari media, anda mungkin ingin tahu apakah yang menyebabkan penyimpangan dalam hidup mereka. Pada surat kabar, majalah atau artikel, biografi, dan roman terkadang anak autis dilukiskan seperti sesuatu yang istimewa namun esentrik, terkadang juga sebagai seseorang yang lemah, dan seolah-olah tidak dapat menjalani kehidupan sehari-hari. Sebenarnya, uraian di atas berdasarkan fakta. Autisme, sekarang ini umumnya dikenal sebagai gangguan spektrum autis, dan telah diuraikan sebagai suatu teka-teki, sebab secara luas jenis kelainan ini berbeda dan mempunyai karakteristik tersendiri dari kelainan lainnya.

Apakah yang dimaksud dengan gangguan spektrum autis?

Studi tentang gangguan spektrum autis adalah suatu istilah baru dalam pendidikan khusus. Bagaimanapun, anda akan melihat perkembangan pemahaman tentang kelainan ini dengan cepat dan pada prakteknya, siswa-siswa ini menurut penelitian mereka memiliki karakteristik dan kebutuhan.

penangan autis sejak dini

Mengenai autisma juga lebih jelas di artikel Apa Itu Autisma?

Jika Anda menduga anak Anda mungkin menunjukkan beberapa dari gejala di atas atau sebelum berusia 3 tahun, Anda bisa menghubungi dokter. Dokter Anda bisa merujuk Anda kepada tim ahli tumbuh kembang (psikolog, terapis wicara, terapis okupasi, fisioterapis, spesial instruktor) yang bisa bekerja sama untuk mengenali jika anak Anda mempunyai tanda-tanda atau gejala kelainan spektrum autis (ASD). Setelah diagnosa dari tim ahli tumbuh kembang, mereka bisa merencanakan program intervensi yang sesuai dengan kebutuhan anak. Untuk informasi tambahan mengenai kelainan spektrum autis (Autism Spectrum Disorders),

Mengerti tentang istilah diagnostik dari ASD

Mengerti tentang istilah diagnostik dari ASD

Akan sangat membantu jika kita bisa mengerti perbedaan-perbedaan di antara kelainan-kelainan spektrum autisma yang lebih umum. Mengetahui kesamaan dan perbedaan mereka akan memberi anda ide tentang kebutuhan yang unik dari tiap-tiap kelompok. Beberapa yang disebut di bawah ini merupakan kelompok-kelompok di dalam kategori ASD walaupun gejala-gejalanya unik : Pervasive Developmental Disorder-Not Otherwise Specified (PDD-NOS), Asperger’s Syndrome, dan Autistic Disorder (biasa disebut autisma).

Pervasive developmental disorder-not otherwise specified (PDD-NOS) biasa dikenal dengan “autis ringan” atau “beberapa karakter autis”. Istilah ini merujuk kepada anak-anak dengan kesulitan yang jelas pada area interaksi sosial, komunikasi verbal dan nonverbal, dan bermain, namun masih terlalu bersosialisasi untuk bisa disebut benar-benar autis. Beberapa ahli berharap bisa menghilangkan istilah ini, karena menurut mereka istilah ini berawal dari para psikolog yang tidak bisa menentukan harus dikategorikan ke mana anak yang mengalami kesulitan ini.

Asperger’s Syndrome- Banyak sekali anak-anak mendapat diagnosa Asperger’s pada usia antara 5 dan 9, di mana sangat jauh dibanding usia kita mengenali autisma. Asperger’s menunjukkan ketidakmampuan/cacat yang parah dan tetap dalam hal interaksi sosial, perkembangan pada pola perilaku tertentu dan berulang-ulang, minat, dan aktivitas. Berlawanan dengan autisma, secara klinis tidak ada keterlambatan yang berarti pada bahasa, kognisi, kemampuan membantu diri sendiri, atau perilaku beradaptasi, selain dari pada masalah interaksi sosial mereka. Anak dengan sindrom Asperger’s bisa jadi tidak tanggap secara benar atau bahkan mengerti pernyataan kalimat yang berhubungan dengan “perasaan” dalam percakapan. Asperger’s mungkin secara klinis tidak menyebabkan keterlambatan yang berarti dalam menerima informasi baru, tapi tetap ada perbedaan dalam pembelajaran. Misalnya, anak Asperger’s bisa menjadi hiperleksik (hyperlexic), yaitu bisa mengindentifikasi kata-kata dan membaca pada usia yang sangat muda, dengan sedikit atau sama sekali tanpa mengerti arti kalimat yang dibaca. Sebagai tambahan, anak Asperger’s menunjukkan kemampuan memori/menghafal di atas rata-rata dan mempunyai kelebihan dalam vokabulari (banyaknya jenis kata) namun tidak bisa menggunakannya dalam kalimat secara benar.

Autistic disorder (autisma) adalah suatu ketidakmampuan perkembangan anak yang sangat mempengaruhi komunikasi verbal dan nonverbal dan interaksi sosial. Ketidakmampuan ini sangat jelas pada usia sebelum 3 tahun. Autisma berpengaruh buruk pada area pendidikan/pembelajaran. Anak yang terdiagnosa autis menunjukkan aktivitas mengulang-ulang dan pergerakan meniru (stereotype), menolak perubahan pada lingkungannya atau perubahan pada kebiasaan sehari-hari, dan mempunyai tanggapan yang tidak biasa pada sensori/indera. Autisma kemungkinan mempengaruhi anak laki-laki 3-5 kali dibanding perempuan dan tidak mengenal ras, suku, kelompok sosial.

Gejala-gejala kelainan spektrum autisma

Gejala-gejala kelainan spektrum autisma

Tidak ada dua anak yang menunjukkan gejala-gejala yang sama untuk kelainan ini. Di bawah ini adalah beberapa karakteristik yang paling umum untuk anak autis.
Kemampuan tinggi (savant) – Kemampuan ini termasuk ke dalam kategori fungsi yang lebih tinggi dari spektrum autis (spektrum sangat luas). Anak yang mempunyai kemampuan tinggi bisa mempunyai bakat spesial di bidang musik dan seni, matematika, atau bahkan kemampuan untuk menghafal informasi yang sangat banyak, tapi tetap masih harus berkutat dalam hal interaksi sosial, perubahan pola yang sudah tetap/rutin, dan komunikasi.

Cacat pada satu atau lebih dari sistem paca indera – Anak autis sulit untuk memproses informasi yang diterima indera dengan benar. Situasi yang normal seperti suara mesin mobil, tangis bayi, atau suara pengering rambut bisa jadi tidak tertahankan oleh beberapa individu autistik.

Ketidakmampuan bicara atau ekolali (echolalia) – Sekitar 40% dari anak autis tidak berbicara sama sekali, sementara yang lain mungkin mengalami situasi ekolali (mengulang-ngulang apa yang dikatakan kepada mereka atau yang mereka dengar di TV/radio lagi dan lagi dan lagi). Suara mereka juga bisa terdengar datar, dan mereka tidak bisa mengontrol keras lembutnya suara saat berbicara.

Perilaku dan kebiasaan yang diulang-ulang – Individu dengan kelainan autisma menuntut “kesamaan” dalam kebiasaan mereka. Misalnya, jika seorang anak menyikat giginya sebelum berganti piyama tidur, memintanya untuk menukar urutan kebiasaan ini akan mengganggunya.

Tepuk tangan, menggigit, melukai diri sendiri, kebiasaan tidur dan makan yang jelek, kurang perhatian, dan tidak peka terhadap rasa sakit juga merupakan ciri umum pada autisma.

Karakteristik Autism Spectrum Disorder (ASD)

Apa itu Autism Spectrum Disorder?

Para dokter dan psikolog mendefinisikan kelainan spektrum autisma atau Autism Spectrum Disorder (ASD) sebagai keadaan di mana terdapat 3 ketidakmampuan yang berbeda yaitu : ketidakmampuan dalam berinteraksi secara sosial, hambatan berkomunikasi, dan keterlambatan kemampuan bahasa dan kognitif. Perbedaan-perbedaan pada area ini biasanya bisa diketahui sebelum anak berusia 3 tahun. Autisma mempunyai banyak klasifikasi dan kata autisma merupakan suatu istilah umum untuk menjelaskan area yang sangat luas mengenai perilaku dan kemampuan, sehingga mungkin istilah ‘spektrum’ lebih pantas untuk digunakan.

Diagnosa dari ASD meliputi observasi pada tingkat komunikasi, perilaku, dan perkembangan anak. Setelah mendapatkan tanda keterlambatan pada perkembangan kemampuan bahasa, diagnosa resmi biasanya bisa diberikan sekitar usia 2 atau 3 tahun. Pada anak yang lebih besar usianya, bisa juga menunjukkan tanda tidak memberi tanggapan saat dipanggil namanya, ketidakmampuan bermain dengan mainan, tidak ada kontak mata dengan orang lain, pola gerakan yang aneh, tidak tersenyum, kecenderungan untuk membariskan mainan atau benda lain, atau kegagalan untuk mengikuti arah/petunjuk sama sekali.

Anak-anak autis berkembang dengan laju yang berbeda untuk area yang berbeda pada tahap pertumbuhan mereka karena beberapa ketidaknormalan pada otak. Walaupun anak-anak autis mengalami keterlambatan bicara dan bahasa, kemampuan motorik mereka bisa menyamai anak-anak lain seusia mereka. Aktifitas yang kompleks seperti menyusun puzzle atau menyelesaikan soal matematika bisa jadi sangat mudah, sementara tugas lain yang sangat sederhana seperti berteman atau bicara dengan orang lain bisa jadi hal yang sulit. Mereka juga mungkin bisa membaca kalimat yang panjang dan sulit, tapi tidak mampu mengenali suara “d”.

sumber: -- Diterjemahkan dari artikel Megan-Lynette Richmond, CCC-SLP and Becky L. Spivey, M.Ed.--
Thursday, June 26, 2008