Sabtu, 01 Mei 2010

HARGA BUNUH DIRI

Penulis : Agoeng Widyatmoko
Rating Artikel :
Senin, 30-Juni-2008
Belakangan ini, saya sering mendapati orang yang kebingungan menentukan harga. Mereka yang sedang asik berwirausaha, ternyata banyak yang kemudian mengeluhkan soal berapa harga yang pantas untuk produknya?

Kalau jelas harga dasarnya sih mungkin tak jadi soal. Tinggal ambil marjin dari angka hitungan dasar, kalikan dengan jumlah perkiraan produk yang terjual, beres. Itu pasti nanti akan langsung keluar angka perkiraan keuntungannya.

Tapi, apakah akan segampang itu? Bagaimana jika kita bergerak di bidang jasa? Nah, untuk pertanyaan yang terakhir-bagaimana menentukan harga di bidang jasa-masih banyak yang sering kesulitan. Apalagi, hal tersebut sering belum ada standar yang pasti di pasaran. Misalnya, jasa potong rambut. Bagaimana seorang hair stylist dengan tukang potong rambut salon biasa bisa mempunyai perbedaan harga bak bumi dan langit? Okelah kalau memang ada yang beralasan, si hair stylist pasti sudah punya nama dan pengalaman dong... wajar kalau lebih mahal. Tapi, berapa sebenarnya standar harga jasa potong rambut itu sendiri, memang belum ada standarnya bukan?

Kita tidak akan mendebatkan soal berapa harga yang perlu kita tetapkan untuk usaha kita. Yang ingin saya sampaikan di sini adalah soal strategi kuno soal pricing yang menurut saya masih cukup ampuh di masa sekarang.

Strategi ini-menurut rekan saya-diistilahkan dengan "Harga bunuh diri alias suicide price". Seram? Tunggu dulu. Itu hanya istilah yang mengacu pada pemberian potongan harga yang kadang tidak masuk akal demi memperoleh keuntungan maksimal.

Bingung? Begini. Ini contoh nyata yang pernah dilakukan oleh teman saya. Dia memberikan harga cetakan brosur plus desain, termasuk kartu nama dengan harga supermiring kepada sebuah perusahaan. Setelah saya hitung, memakai hitungan paling murah sekalipun, harga yang ditawarkan kawan saya itu sama sekali tak kan memberikan untung padanya. Saya pun heran.

Usut punya usut, ternyata, klien yang diberikan harga supermurah itu adalah klien besar yang hingga kini telah beberapa tahun menjadi pelanggannya. Ia ternyata melakukan subsidi silang dengan memberikan harga murah untuk cetak brosur dan kartu nama. Dengan begitu, ia bisa mendapatkan untung lebih besar dengan mendapat berbagai pekerjaan ekstra oleh klien tersebut seperti membuat baliho hingga ke desain-desain cetak lainnya. Harga murah yang diberikannya pada klien tersebut membuatnya dikenal sebagai partner yang mau memberikan harga sangat miring. Padahal, ia mendapatkan untung ekstra pada pekerjaan lainnya.

Sebenarnya, inti dari harga bunuh diri ini adalah kita mencari barang yang paling terlihat dan paling banyak jadi omongan orang untuk diberi harga supermurah. Dengan cara ini, kita menciptakan kesan harga produk kita lebih murah dari pesaing. Sebab, pada dasarnya orang cenderung akan membanding-bandingkan satu produk dengan produk lainnya. Dan, kalau ada yang lebih murah namun berkualitas, pastilah orang akan mereferensikan produk tersebut kepada orang lain.

Cara seperti ini juga acap saya gunakan untuk menjalankan usaha di bidang jasa penulisan saya. Beberapa kali saya memberikan harga lebih murah demi mendapat kepercayaan dari klien. Walhasil, meski di awal harganya kurang menguntungkan, namun berkat kepercayaan klien, saya pun mendapat banyak pekerjaan tambahan. Artinya? Arus kas masuk pun lebih lancer.

Bukankah untuk mendapatkan ikan besar, umpan yang diberikan pun harus ekstra besar? Jadi, sudahkah Anda tentukan, mana harga dari produk yang akan Anda korbankan?

Agoeng Widyatmoko adalah konsultan independen UKM, perencana usaha keluarga, dan founder DapurTulis, sebuah perusahaan yang bergerak di bidang jasa penulisan. Ia dapat dihubungi melalui e-mail: agoeng.w@gmail.com.

1 komentar:

  1. Hmm.. Kok bisa ya
    Bukannya malah rugi mulu nih?
    Sepertinya strategi demikian membutuhkan modal besar

    BalasHapus